19/04/10

85 Tahun Umat Islam Hidup Bak Gelandangan Tanpa Rumah

Tidak banyak muslim yang tahu bahwa 85 tahun yang lalu telah terjadi sebuah peristiwa yang sangat mempengaruhi perjalanan kehidupan umat Islam di seantero dunia. Persisnya pada tanggal 3 Maret 1924 Majelis Nasional Agung yang berada di Turki menyetujui tiga buah Undang-Undang yaitu: (1) menghapuskan kekhalifahan, (2) menurunkan khalifah dan (3) mengasingkannya bersama-sama dengan keluarganya.

Turki pada masa itu merupakan pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah terakhir. Kekhalifahan terakhir umat Islam biasa dikenal sebagai Kesultanan Utsmani Turki alias The Ottoman Empire, demikian penyebutannya dalam 
kitab-kitab sejarah Eropa. Kekhalifahan Utsmani Turki merupakan kelanjutan sejarah panjang sistem pemerintahan Islam di bawah Ridha dan Rahmat Allah yang berawal jauh ke belakang semenjak Nabi Muhammad pertama kali memimpn Daulah Islamiyyah (Tatanan/Negara Islam) Pertama di kota Madinah.


Secara garis besar kita dapat membagi periode sejarah kepemimpinan Islam ke dalam lima periode utama berdasarkan sebuah Hadits Shahih Nabi riwayat Imam Ahmad.


 تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ ا للهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ  أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَّرِيًّا ، فَتَكُوْنَ مَا شَاءَ اللهُ  أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، ثُمَّ سَكَتَ

“Periode  an-Nubuwwah (kenabian) akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya, setelah itu datang periode  khilafatun ‘ala minhaj an-Nubuwwah (kekhalifahan atas manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’aala mengangkatnya, kemudian datang periode mulkan aadhdhon (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa, selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’aala, setelah itu akan terulang kembali periode khilafatun ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam,”(HR Ahmad 17680).

Periode pertama adalah Kepemimpinan langsung Nabi Muhammad yang disebut sebagai masa An-Nubuwwah(Kenabian). Periode kedua merupakan Kepemimpinan para sahabat utama yakni Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattb, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan julukan Khulafaur Rasyidin (Para khalifah yang adil, jujur, benar dan terbimbing oleh Allah SWT). Di dalam hadits tersebut periode ini dikenal sebagai periodeKhilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah (Kekhalifahan yang mengikuti Manhaj/Sistem/Metode/Cara Kenabian).

Sesudah itu, kata Nabi, pada periode ketiga umat Islam akan mengalami kepemimpinan para Mulkan ’Aadhdhon(Para Raja/Penguasa yang Menggigit).  Kepemimpinan para Mulkan ’Aadhdhon (Para Raja/Penguasa yang Menggigit)  merupakan periode dimana umat Islam memiliki para pemimpin yang tetap mengaku dan dijuluki sebagai para Khalifah. Mereka masih menyebut pemerintahannya sebagai Khilafah Islamiyyah(Kekhalifahan Islam), namun pola suksesi seorang khalifah kepada khalifah berikutnya menggunakan cara pewarisan tahta laksana sistem kerajaan turun-temurun. Periode ini bisa dikatakan merupakan periode paling lama dalam sejarah Islam, ia berlangsung sekitar tigabelas abad, semenjak Daulat Bani Umayyah, lalu Daulat Bani Abbasiyyah dan berakhir dengan Kesultanan Utsmani Turki. Itulah sebabnya mereka dijuluki oleh Nabi sebagai para Mulkan atau Raja-raja.

Kemudian disebut sebagai  Mulkan ’Aadhdhon (Para Raja/Penguasa yang Menggigit) karena betapapun keadaannya para raja tersebut masih ”menggigit” Al-Qur’an dan As-Sunnah, dua sumber utama nilai-nilai dan hukum-hukum Islam, kendati tidak sebaik para Khulafaur Rasyidin yang ”menggenggam” Al-Qur’an dan As-Sunnah. Coba bandingkan antara orang yang mendaki bukit dengan tali, tentu yang lebih aman dan pasti ialah orang yang ”menggenggam” talinya sampai ke atas daripada orang yang ”menggigit”-nya.

Itulah sebabnya kita jumpai dalam sejarah bahwa pada periode ketiga (Para Raja/Penguasa yang Menggigit) Dunia Islam tampak mengalami degradasi dibandingkan pada periode kedua (Kekhalifahan yang mengikuti Manhaj/Sistem/Metode/Cara Kenabian). Namun demikian, sebagai sebuah sistem, maka periode ketiga masih menyaksikan berlakunya sistem Islam dalam hal pemerintahan. Masalahnya tinggal apakah person yang memimpin merupakan sosok yang adil ataukah zalim. Ada kalanya adil seperti Umar bin Abdul Aziz. Dan kalaupun Allah taqdirkan yang memimpin adalah sosok yang zalim, maka kita temukan berbagai pandangan ulama di masa itu yang melarang rakyat melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Mengapa? Sebab sebagai sebuah sistem ia masih menjunjung tinggi Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sejak tanggal 3 Maret 1924 umat Islam menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa kehadiran sistem pemerintahan Islam Al-Khilafah Al-Islamiyyah. Seorang Yahudi Dunamah, Penggila Budaya Barat, Pengagum Sekularisme dan juga seorang pemabuk-pedansa bernama Mustafa Kemal memproklamir pembubaran sistem pemerintahan Islam tersebut. Suatu pemerintahan yang sesungguhnya merupakan warisan ideologis-sosial-politik-budaya umat yang bermula sejak kepemimpinan Nabi Muhammad di kota Madinah 15 abad yang lalu. Dan mulailah sejak saat itu umat Islam menjadi laksana anak-anak ayam kehilangan induk, anak-anak yatim tanpa ayah serta gelandangan tanpa rumah pelindung dari panasnya terik matahari dan dinginnnya hujan.

Sudah 85 tahun sejak peristiwa tragis tersebut berlangsung. Sedemikian jauhnya pemahaman dan pengalaman umat Islam mengenai realitas kehidupan di bawah naungan tatanan khilafah Islam sehingga banyak muslim yang menyangka bahwa sistem kehidupan dengan konsep nation-state dewasa ini merupakan sebuah sistem yang cukup memuaskan dan sudah final. Padahal kehidupan dengan sistem nation-state bagi umat Islam merupakan sebuah kehidupan darurat laksana para gelandangan yang terpaksa membangun bedeng sebagai rumah sementara karena raibnya rumah mereka yang semestinya. Mungkin karena sudah terlalu lama  ”menikmati” hidup di bedeng-bedeng akhirnya mereka mulai menyesuaikan diri dan terbius untuk meyakini bahwa memang sudah semestinya mereka nrimo hidup tanpa pernah lagi punya rumah semestinya. Awalnya hanya terpaksa menjadi gelandangan, lama kelamaan secara sukarela meyakini dan menumbuhkan mentalitas gelandangan di dalam jiwa...!

Lalu bagaimana gerangan nasib umat Islam selanjutnya? Berdasarkan hadits Nabi riwayat Imam Ahmad tersebut ternyata Nabi menggambarkan bahwa periode keempat umat Islam bakal hidup ”tanpa khilafah”. Periode tersebut Nabi sebut sebagai periode Mulkan Jabbariyyan (Para Raja/Penguasa yang Memaksakan Kehendak). Saudaraku, periode itulah yang sedang kita lalui dewasa ini. Suatu periode dimana umat Islam tidak saja kehilangan personkhalifah  yang layak memimpin dan melindungi mereka, namun lebih jauh daripada itu mereka bahkan tidak lagi dinaungi oleh sistem pemerintahan Islam bernama Khilafah Islamiyyah. Inilah periode kepemimpinan Mulkan Jabbariyyan alias para penguasa yang memaksakan kehendak yang berarti mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Inilah periode dimana umat Islam Babak Belur..!! Inilah periode paling kelam dalam sejarah Islam. We are living in the darkest ages of the Islamic history...!

Kondisi di periode keempat ini menggambarkan dekadensi yang Nabi sebutkan dalam haditsnya sebagai berikut:


لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ

بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya.  Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah shalat,” (HR Ahmad 45/134).

Praktis dewasa ini segenap simpul dari ikatan Islam telah terurai seluruhnya. Sejak dari simpul hukum yang tercermin dengan runtuhnya tatanan Khilafah hingga banyaknya muslim yang dengan seenaknya meninggalkan kewajiban sholat  tanpa rasa bersalah...  Dewasa ini umat Islam merasakan suatu kehidupan jahiliyyah modern mirip dengan keadaan Nabi dan para sahabat pada periode pertama bagian awal yakni ketika mereka berjuang melawan kejahiliyyahan di kota Mekkah dan segenap jazirah Arab sebelum berhijrah ke Madinah.

Saudaraku, betapapun pahitnya periode keempat ini, tidak selayaknya kita berputus asa apalagi sampai menerima sepenuhnya sistem yang diberlakukan fihak musuh Islam di fase ini. Tidak selayaknya kita kehilangan harapan bahwa sesungguhnya rumah sejati kita dapat dibangun kembali. Kita hendaknya menyadari bahwa urusan kepemimpinan merupakan giliran yang Allah taqdirkan akan senantiasa berubah-ubah di dalam kehidupan dunia fana ini. Adakalanya giliran kepemimpinan diberikan kepada umat Islam adakalanya diberikan kepada kaum kuffar.  Yang penting al-wala(loyalitas) kita terhadap al-haq di satu sisi dan al-bara(penentangan) kita terhadap al-batil  di lain sisi harus tetap kita pelihara terus.

Sebab berdasarkan hadits periodisasi di atas kita temukan harapan dimana Nabi menyatakan bahwa periode keempat ini bukanlah periode terakhir sejarah umat Islam. Masih ada satu periode lagi yang kita akan jelang, yaitu periode kelima berjayanya kembali umat ini dengan tegaknya kembali Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah (Kekhalifahan yang mengikuti Manhaj/Sistem/Metode/Cara Kenabian). Umat Islam akan menyaksikan munculnya kembali para pemimpin sekaliber Khulafaur Rasyidin di akhir zaman. Umat Islam akan memiliki kembali rumah syar’i mereka Al-Khilafah Al-Islamiyyah, insyaAllah.

Yang paling penting dewasa ini umat Islam harus memelihara kesabaran, istiqomah dan optimisme mereka akan masa depan. Dan yang lebih penting lagi  ialah hendaknya mereka berjuang sebagaimana berjuangnya Nabi dan para sahabat di Mekkah sebelum adanya Daulah Islamiyah Madinah. Mereka berjuang dengan fokus utama pada kegiatan da’wah mengajak manusia sebanyaknya kepada way of life Diin Al-Islam, tarbiyyah mengkader para muslim untuk meningkat menjadi mukmin, muttaqin bahkan mujahidin. Mereka tidak sedikitpun berkompromi dengan nilai-nilai dan sistem jahiliyyah yang mendominasi saat itu. Mereka sibuk hanya menjalankan program berdasarkan arahan dan bimbingan wahyu Allah dan supervisi Nabi Muhammad.

Saudaraku, marilah kita pastikan diri ikut dalam program menjemput datangnya periode kelima berdasarkan jalan yang dicontohkan Nabi dan para sahabatnya. Jangan hendaknya kita malah terlibat dalam program-program tawaran manusia yang sedang memimpin di babak keempat ini sambil menyangka dan meyakini bahwa itulah jalan untuk bisa mendatangkan kejayaan Islam. Tegaknya Khilafah tidak mungkin mengandalkan negosiasi-negosiasi di meja perundingan dengan kaum kuffar yang sedang mendominasi dunia dewasa ini. Atau mengharapkan jalannya laksana melewati taman-taman bunga indah, apalagi sekedar mengandalkan "permainan kotak suara". Saudaraku, kembaliinya kejayaan Islam tentulah menuntut pengorbanan yang sangat boleh jadi   mengakibatkan tetesan airmata bahkan darah karena harus menempuh jalan yang telah ditempuh Nabi dan para sahabatnya yaitu ad-Da’wah al-Islamiyyah, At-tarbiyyah Al-Harakiyyah dan Al-Jihadu fii Sabilillah.
 
Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan hamba-hambaMu yang terdaftar ke dalam pasukan jihad Imam Mahdi. Ya Allah, berilah kami salah satu dari dua kebaikan ’isy kariiman (hidup mulia di bawah naungan SyariatMu) atau mut syahiidan (mati syahid). Amin

07/04/10

Ketika Ibu Harus Terpaksa Berangkat Kerja

Sering, bukan sekali dua kali penulis menjadi curahan hati ibu-ibu muda yang sedih dan gelisah. Apakah mereka sedih dan gelisah karena uang belanja kurang? Bukan, tapi mereka sedih dan gelisah karena meninggalkan buah hati di rumah. Bahkan salah satu anak dari ibu muda itu pernah berkata: 

“Ibu jangan berangkat kerja. Temani aku main.”
“Tapi ibu harus bekerja, Nak. Supaya bisa membelikan mainan kamu.” 
“Biar ayah saja yang bekerja, ibu jangan pergi.”


Anak usia balita itu pun melepas kepergian ibunya untuk bekerja dengan rewel. Si ibu pun berangkat ke kantor dengan wajah suram. Dan sesampainya di kantor, ia pun menumpahkan perasaannya pada saya.

“Benar Mbak, saya bekerja ini bukan demi karier. Tapi gaji suami tak mampu menghidupi keluarga bila saya tak bekerja. Bila saja saya punya modal, saya rela memilih buka toko kecil di depan rumah asal bisa selalu dekat dengan anak saya.”

Penulis yang waktu itu belum menikah, hanya bisa memegang tangannya untuk memberi kekuatan. Sungguh, saya berusaha memahami posisinya.

Ada banyak ibu-ibu muda di luar sana yang mengalami hal serupa dengan teman saya di atas. Pengalaman itu menjadi salah satu bekal saya untuk menata langkah. Bukan hanya saya tapi juga perempuan lain yang mau berbagi langkah dan bermuhasabah.

Citra perempuan bekerja terutama di luar rumah dengan pakaian blazer, rambut terurai, rok mini atau celana panjang, lengkap dengan sepatu berhak tinggi, demikian indah ditanamkan pada masyakarat kita. Paham feminisme yang semakin gencar disuarakan semakin menambah kesan bahwa menjadi perempuan karier adalah suatu yang wah dan mempunyai prestis tersendiri. Perempuan menjadi bangga karena kedudukan mereka saat ini menjadi sejajar dengan laki-laki terutama dalam hal mencari materi.

Tapi, pernahkah terpikir di benak mereka akan kualitas generasi? Ketika ibu bekerja di luar rumah, siapakah yang mengasuh mereka terutama di usia batita (bawah tiga tahun) dan balita (bawah lima tahun)? Nenek, bibi pembantu ataukah minta tolong tetangga? Siapa pun dia adanya, tak ada yang bisa menggantikan kasih sayang dan perhatian seorang ibu. Kecuali bila memang kasih sayang dan perhatian seorang nenek, bibi pembantu, dan tetangga jauh lebih berkualitas daripada sang ibu sendiri. Bila memang begini kondisinya, sungguh mengenaskan.

Ada seorang teman yang meninggalkan batita-nya di rumah dengan pembantu sepanjang hari. Bahkan tak jarang berhari-hari bila ada urusan pekerjaan keluar kota. Sekali dua saya mengingatkan dengan bercanda bahwa hati-hati saja apabila kualitas anaknya bakal tak jauh dari kualitas pembantu. Dia pun mengelak dengan gugup bahwa pembantunya itu baik dan cukup berkualitas. Anaknya sekarang sudah pandai membaca huruf hijaiyah dan hafal doa-doa harian. Itu semua berkat pembantu tersebut. Hmm…jangan-jangan kualitas si pembantu lebih oke daripada ibu sendiri dalam hal mendidik anak?

Para ibu, jangan pernah rela kedudukan kalian tergeser oleh siapapun juga. Tidak nenek, bibi pembantu atau tetangga. Menjadi ibu adalah amanah mulia bagi seorang perempuan. Ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Karena perannya inilah, surga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Tapi bila pendidikan dini dan pembelajaran pertama seorang anak didapat dari seorang pembantu rumah tangga, masihkah ada surga itu di bawah telapak kaki sang ibu? Mungkinkah surga itu bisa berpindah ke bawah telapak kaki sang pembantu yang telah mendidiknya selama ini?

Begitu sebaliknya, bila ada hal-hal buruk dipelajari oleh si buah hati dari orang yang mengasuhnya, masih berhakkah seorang ibu marah padanya? Sedangkan dia sendiri entah berada di mana ketika si batita dan balita butuh dekapannya, dongeng pengantar tidurnya, atau sekadar mendengar celoteh pertamanya.
Duhai para ibu, bekerja adalah mubah bagi perempuan. Janganlah sampai yang mubah mengalahkan yang sunnah apalagi yang wajib. Mendidik generasi adalah investasi bukan hanya berdimensi dunia saja tapi ke akhirat juga. Doa anak-anak yang salih yang selalu mendoakan kedua orang tuanya adalah penerang kubur kita kelak. Lebih jauh lagi, anak-anak salih itu bukan hanya untuk kepentingan orang tuanya semata, tapi umat dan zaman membutuhkannya.

Umat dan zaman membutuhkan generasi penerus yang shalih dan cerdas. Generasi ini hanya bisa terlahir dari sosok ibu yang juga salihah dan cerdas pula. Dan sosok berkualitas ini tak akan mungkin terjadi begitu saja. Butuh sebuah proses penempaan diri yang terus menerus dan kontinyu. Proses menjadikan diri ibu dan calon ibu agar berkualitas dimensi dunia akhiratnya. Hanya dari perempuan seperti inilah zaman bisa berharap. Selanjutnya, tak akan pernah ada kegamangan untuk menjawab dan menentukan skala prioritas ketika satu saat anak bertanya, “Mengapa ibu berangkat kerja?” Wallahu ‘alam [voa-islam.com]