07/04/10

Ketika Ibu Harus Terpaksa Berangkat Kerja

Sering, bukan sekali dua kali penulis menjadi curahan hati ibu-ibu muda yang sedih dan gelisah. Apakah mereka sedih dan gelisah karena uang belanja kurang? Bukan, tapi mereka sedih dan gelisah karena meninggalkan buah hati di rumah. Bahkan salah satu anak dari ibu muda itu pernah berkata: 

“Ibu jangan berangkat kerja. Temani aku main.”
“Tapi ibu harus bekerja, Nak. Supaya bisa membelikan mainan kamu.” 
“Biar ayah saja yang bekerja, ibu jangan pergi.”


Anak usia balita itu pun melepas kepergian ibunya untuk bekerja dengan rewel. Si ibu pun berangkat ke kantor dengan wajah suram. Dan sesampainya di kantor, ia pun menumpahkan perasaannya pada saya.

“Benar Mbak, saya bekerja ini bukan demi karier. Tapi gaji suami tak mampu menghidupi keluarga bila saya tak bekerja. Bila saja saya punya modal, saya rela memilih buka toko kecil di depan rumah asal bisa selalu dekat dengan anak saya.”

Penulis yang waktu itu belum menikah, hanya bisa memegang tangannya untuk memberi kekuatan. Sungguh, saya berusaha memahami posisinya.

Ada banyak ibu-ibu muda di luar sana yang mengalami hal serupa dengan teman saya di atas. Pengalaman itu menjadi salah satu bekal saya untuk menata langkah. Bukan hanya saya tapi juga perempuan lain yang mau berbagi langkah dan bermuhasabah.

Citra perempuan bekerja terutama di luar rumah dengan pakaian blazer, rambut terurai, rok mini atau celana panjang, lengkap dengan sepatu berhak tinggi, demikian indah ditanamkan pada masyakarat kita. Paham feminisme yang semakin gencar disuarakan semakin menambah kesan bahwa menjadi perempuan karier adalah suatu yang wah dan mempunyai prestis tersendiri. Perempuan menjadi bangga karena kedudukan mereka saat ini menjadi sejajar dengan laki-laki terutama dalam hal mencari materi.

Tapi, pernahkah terpikir di benak mereka akan kualitas generasi? Ketika ibu bekerja di luar rumah, siapakah yang mengasuh mereka terutama di usia batita (bawah tiga tahun) dan balita (bawah lima tahun)? Nenek, bibi pembantu ataukah minta tolong tetangga? Siapa pun dia adanya, tak ada yang bisa menggantikan kasih sayang dan perhatian seorang ibu. Kecuali bila memang kasih sayang dan perhatian seorang nenek, bibi pembantu, dan tetangga jauh lebih berkualitas daripada sang ibu sendiri. Bila memang begini kondisinya, sungguh mengenaskan.

Ada seorang teman yang meninggalkan batita-nya di rumah dengan pembantu sepanjang hari. Bahkan tak jarang berhari-hari bila ada urusan pekerjaan keluar kota. Sekali dua saya mengingatkan dengan bercanda bahwa hati-hati saja apabila kualitas anaknya bakal tak jauh dari kualitas pembantu. Dia pun mengelak dengan gugup bahwa pembantunya itu baik dan cukup berkualitas. Anaknya sekarang sudah pandai membaca huruf hijaiyah dan hafal doa-doa harian. Itu semua berkat pembantu tersebut. Hmm…jangan-jangan kualitas si pembantu lebih oke daripada ibu sendiri dalam hal mendidik anak?

Para ibu, jangan pernah rela kedudukan kalian tergeser oleh siapapun juga. Tidak nenek, bibi pembantu atau tetangga. Menjadi ibu adalah amanah mulia bagi seorang perempuan. Ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Karena perannya inilah, surga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Tapi bila pendidikan dini dan pembelajaran pertama seorang anak didapat dari seorang pembantu rumah tangga, masihkah ada surga itu di bawah telapak kaki sang ibu? Mungkinkah surga itu bisa berpindah ke bawah telapak kaki sang pembantu yang telah mendidiknya selama ini?

Begitu sebaliknya, bila ada hal-hal buruk dipelajari oleh si buah hati dari orang yang mengasuhnya, masih berhakkah seorang ibu marah padanya? Sedangkan dia sendiri entah berada di mana ketika si batita dan balita butuh dekapannya, dongeng pengantar tidurnya, atau sekadar mendengar celoteh pertamanya.
Duhai para ibu, bekerja adalah mubah bagi perempuan. Janganlah sampai yang mubah mengalahkan yang sunnah apalagi yang wajib. Mendidik generasi adalah investasi bukan hanya berdimensi dunia saja tapi ke akhirat juga. Doa anak-anak yang salih yang selalu mendoakan kedua orang tuanya adalah penerang kubur kita kelak. Lebih jauh lagi, anak-anak salih itu bukan hanya untuk kepentingan orang tuanya semata, tapi umat dan zaman membutuhkannya.

Umat dan zaman membutuhkan generasi penerus yang shalih dan cerdas. Generasi ini hanya bisa terlahir dari sosok ibu yang juga salihah dan cerdas pula. Dan sosok berkualitas ini tak akan mungkin terjadi begitu saja. Butuh sebuah proses penempaan diri yang terus menerus dan kontinyu. Proses menjadikan diri ibu dan calon ibu agar berkualitas dimensi dunia akhiratnya. Hanya dari perempuan seperti inilah zaman bisa berharap. Selanjutnya, tak akan pernah ada kegamangan untuk menjawab dan menentukan skala prioritas ketika satu saat anak bertanya, “Mengapa ibu berangkat kerja?” Wallahu ‘alam [voa-islam.com]

0 komentar: