18/08/10

Merawat Cinta


Cinta tak ubahnya seperti pohon yang tak selamanya terlihat segar. Daun-daun yang dulu hijau cerah mulai menguning, akhirnya coklat kaku. Bunga-bunganya yang pernah indah merekah kini layu. Beberapa ujung tangkai pun mulai tampak mengering.

Begitulah hidup. Tak ada yang tetap dalam hidup. Semuanya dinamis: bergerak dan berubah, tumbuh dan menyusut, berkembang dan tumbang. Apa pun dan siapa pun. Termasuk, cinta suami isteri.


 Setidaknya, itulah yang kini dialami Bu Tati. Ibu lima anak ini merasakan ada yang berkurang dari suaminya. Tidak seperti dulu ketika anak masih satu, dua, hingga tiga. Apalagi ketika belum ada anak. Wah, terlalu jauh perbandingannya.

Saat dulu, suami Bu Tati tak pernah ketinggalan telepon ke rumah sebelum pulang kantor. Bahkan, sehari bisa tiga kali telepon. Kini, seminggu dua kali sudah teramat bagus. Itu pun karena ada yang mau ditanyakan.

Dulu, kemana pun Bu Tati pergi, suami selalu antar jemput. Paling tidak, mewanti-wanti agar ia berhati-hati. “Hati-hati, ya Dik. Bisnya sering kebut-kebutan,” ucap suami dengan penuh perhatian. Kini, menanyakan tujuan pergi pun sudah sangat bagus.

Dulu juga, suami kerap ngasih hadiah di hari-hari bersejarah. Di antaranya, hari kelahiran, dan tanggal pernikahan. Walau hadiah cuma pulpen, buku harian, atau Alquran saku. Tapi, kesan yang timbul begitu dalam. Kini, jangankan hadiah, ingat dengan momen itu saja sudah bagus.

Mengingat-ingat masa lalu, bikin Bu Tati mengoreksi diri. Apa yang salah. Kalau cinta dihubung-hubungkan dengan rupa, kenyataan itu mungkin bisa diterima. Ia memang bukan Tati dua belas tahun lalu. Banyak perubahan, memang. Tapi, mestikah cinta dan perhatian harus menyusut sebagaimana berkerutnya wajah dan tidak langsingnya tubuh. Apa layak itu jadi alasan.

Bukankah cinta terlihat dari pandangan mata hati. Bukan dari simbol-simbol fisik yang terlihat dari pandangan mata, yang bisa menyilaukan ketika ada cahaya dan buram di saat gelap. Bukankah cinta perpaduan dari senang, kagum, cocok, sayang. Bahkan, kasihan.

Tidak jarang, cinta tumbuh pesat dari akar kasihan. Bukan hal aneh jika seorang pemuda langsung melamar muslimah yang terusir dari rumahnya lantaran mengenakan busana muslimah. Ada juga muslimah yang dilamar lantaran statusnya sebagai anak yatim miskin.

Lalu, kenapa cinta suami Bu Tati bisa menyusut. Padahal kasih sayang Bu Tati tak pernah berkurang. Dengan lima anak, Bu Tati pun mesti giat menggali kasih sayang agar bisa merata ke anak-anaknya. Bukankah ini sebuah bukti bahwa adakalanya cinta tersangkut pada rupa.

Menjamin lestarinya kasih sayang memang bukan perkara mudah. Dan, lebih tidak mudah lagi menjamin bahwa kecantikan rupa tidak akan bergeser. Karena sudah kepastian Allah bahwa muda akan menapaki anak tangga usia menuju tua. Semakin banyak anak tangga yang ditapaki, makin berkurang nilai rupa.

Seorang teman Bu Tati pernah ngasih anjuran soal menjaga nilai rupa. Sang teman menganjurkan agar Bu Tati diet, senam, minum herba. Tiga hal itu mesti dilakukan teratur dan terus-menerus. “Repot memang. Tapi, itu penting. Supaya cinta suami tetap lestari,” ungkap sang teman beriring canda.

Ucapan teman itu menguatkan dugaan Bu Tati: cinta juga berbanding lurus dengan rupa. Boleh-boleh saja Bu Tati berdalih bahwa cinta melulu persoalan hati. Tapi, bukankah manusia tidak semata-mata terdiri dari hati dan rasa. Bukankah fisik juga bagian dari unsur manusia. Dan itu berarti keindahan rupa.

Jadi, bisa dibilang wajar kalau perhatian dan cinta suami menurun lantaran nilai rupa Bu Tati berkurang. Benarkah? Ah, rasanya tidak. Di simpangan ini, Bu Tati ragu mau menempuh jalan mana. Kok, sepertinya tidak adil. Kalau dulu, Bu Tati masih sempat ngurus kecantikan, kesegaran, dan kebugaran tubuh. Tapi, sekarang? Duduk istirahat saja sudah sangat sulit. Selalu saja ada kesibukan: anak sakit, anak mau berangkat sekolah, anak punya PR sekolah, anak mau makan, memasak menu kesukaan suami, mencuci, ngurus rumah. Dan masih segudang persoalan rumah lainnya. Itu pun belum termasuk tugas-tugas sosial masyarakat.

Nah, gimana mau diet, kapan mau fitnes, gimana bisa minum herba. Bukankah diet butuh pilihan dan keteraturan makanan yang sehat dan baik. Dan itu berhubungan erat dengan waktu dan uang. Begitu juga dengan fitnes dan herba. Sulit kan kalau waktu dan uangnya belum memadai. Jadi?

Harus ada langkah bersama supaya cinta tetap terawat. Tidak semua sangkutan-sangkutan yang bikin redupnya cahaya cinta bersumber dari Bu Tati. Bisa jadi, ada ketidakcocokan antara standar nilai rupa suami dengan kenyataan yang semestinya. Kalau nilai rilnya memang hanya lima puluh, standarnya jangan dipatok sembilan puluh. Susah ngejarnya. Paling tidak, selisi antara standar dengan kenyataan tidak lebih dari sepuluh. Dan nilai sepuluh ini bisa dikejar dengan diet dan senam sederhana. Kalau ada uang belanja lebih, bisa ditopang dengan herba.

Memang, kehangatan cinta bisa lahir dari stabilnya nilai rupa. Tapi, unsur emosi pun punya andil yang lumayan besar. Kalau cinta cuma berpatok pada langgengnya rupa, mungkin rumah tangga kakek nenek akan bubar massal.

Di sinilah seninya bagaimana suami isteri bisa memainkan emosi sehingga cinta menjadi indah untuk dinikmati. Kepiawaian mengelola emosi juga mampu menjadikan cinta lestari. Bayangkan, betapa jauhnya jarak usia antara Rasulullah saw dengan Aisyah: kira-kira empat puluh tiga tahun. Belum lagi kesenjangan intelektual dan rupa. Tapi, semua itu tidak jadi masalah lantaran irama emosinya begitu rapi dan indah. Rasulullah tidak perlu ragu berlomba lari bersama isterinya, mengecup kening isteri saat pergi ke masjid, bersenda gurau layaknya teman, berdiskusi layaknya guru dan murid, dan sebagainya.

Justru, unsur emosilah yang kadang dominan dari nilai rupa. Bu Tati punya kesadaran baru. Bahwa, merawat cinta merupakan upaya bersama mengelola nilai rupa agar tidak jatuh drastis. Dan, memainkan irama emosi dengan saling percaya dan saling membutuhkan.

Cinta memang tak ubahnya seperti pohon yang tidak selamanya segar. Karena pohon memang tidak akan pernah kokoh kalau hanya dinikmati kesejukan, keindahan, dan buahnya. Ia juga butuh siraman air, kesuburan tanah, dan pagar perlindungan. (muhammadnuh@eramuslim.com)

05/07/10

Atap Bocor

Keluarga tak ubahnya seperti bus. Suami sebagai sopir dan isteri sebagai kondektur. Sopirlah yang menentukan arah, kecepatan, dan nyaman tidaknya bus melaju. Sementara kondektur mengawasi keadaan penumpang. Bahkan tidak jarang, kondektur pula yang meluruskan kaca spion, berurusan dengan polisi atau bahkan mengurus ban bocor.

Keseimbangan merupakan idaman tiap keluarga. Seimbang materi, juga spiritual. Keseimbangan juga yang menjadikan tiap anggota keluarga berada pada posisinya masing-masing. Siap dan siaga dengan tugas-tugas rutin mereka.

Seorang suami yang menyadari pentingnya keseimbangan akan berupaya sungguh-sungguh menunaikan tugasnya. Begitu pun dengan isteri dan anak-anak. Semuanya

sibuk, tapi tetap pada rel yang sudah ditentukan. Saat itulah terjadi kerja sama: kerja bersama yang sama-sama kerja.

Repotnya, ketika satu pos tidak tertangani dengan baik. Maka, akan terjadi ketidakseimbangan di pos yang lain. Itulah yang saat ini dialami keluarga Bu Nini. Ibu lima anak ini benar-benar kerepotan dengan urusan yang kelihatan sederhana. Tapi, terasa begitu sulit.

Beberapa hari terakhir ini, Bu Nini agak bingung dengan bocoran air di atas rumahnya, persis di ruang dapur. Kian hari tetesannya kian banyak. Awalnya cuma setengah ember buat sekali hujan. Sekarang, tiga kali ganti ember masih belum cukup. Bahkan, sumber tetesan tidak lagi satu. Tapi, mulai menyebar ke kamar tidur. Benar-benar merepotkan!

Sambil menatap ke arah langit-langit rumah yang kian basah, Bu Nini mulai berpikir. “Sebenarnya, tugas siapa ya ngurus atap bocor. Saya apa suami? Kayaknya jelas: suami!” Kesimpulan itu begitu kuat ketika sulit buat Bu Nini membayangkan kayak apa repotnya naik-naik ke atap rumah.

Tapi, satu pekan ini, suami tidak sedang di rumah. Ada tugas kantor yang mengharuskan suami Bu Nini pergi keluar kota. Paling cepat satu pekan baru bisa pulang. Biasanya, lebih. Bahkan, bisa dua kali lipat dari waktu yang direncanakan.

Bu Nini bingung sendiri. Kalau sampai dua pekan nggak diperbaiki. Wah, bisa-bisa kamar tidurnya bocor semua. Sementara, hujan belum ada tanda-tanda akan mereda. Ia hampir-hampir tidak lagi merasakan nikmatnya anugerah Allah yang amat mahal itu.

Buat Bu Nini, hujan jadi lebih dekat ke musibah ketimbang anugerah. Bayangkan, lagi enak-enak tidur karena capek ngurus rumah seharian, tiba-tiba mimpi kehujanan. Dan yang mimpi seperti itu bukan cuma milik Bu Nini. Empat dari lima anaknya pun punya mimpi yang sama. Kecuali si bayi yang tidur di tempat khusus. Rupanya, mimpi yang seragam itu memang bukan sekadar mimpi. Tapi memang sebuah kenyataan. Bu Nini dan empat anaknya sama-sama merasakan tetesan air hujan.

Pernah Bu Nini panik ketika tersadar dari tidur. “Siapa yang ngompol nih? Siapa?” suara Bu Nini sambil memegang seprei tempat tidurnya yang terasa basah. Walau matanya masih terpejam, feelingnya begitu kuat mengucapkan itu. Padahal, tak satu anak pun yang tidur bersama Bu Nini. Basah itu cuma tetesan air dari atap.

Ah, siapa yang bisa memperbaiki? Lagi-lagi Bu Nini termenung. Tidak mungkin ia menyuruh anak-anaknya. Masih kecil-kecil. Si sulung saja baru kelas lima SD. Mau minta tolong sama tetangga, tak enak hati. Dan lagi, di siang hari cuma ada ibu-ibu. Suami-suami mereka sudah keluar rumah.

“Duh, siapa ya?” keluh Bu Nini memeras pikiran. Masak cuma urusan mengganti genting bocor saja, ia mesti menyewa tukang bangunan. Mana ada yang mau? Lagian, di daerah komplek seperti ini teramat sulit mencari buruh bangunan.

Mau nyuruh Mbok Iyem nggak mungkin. Selain sudah tua, pembantunya itu latahan. Gimana kalau sedang di atas genting tiba-tiba kumat. Wah, bisa repot dua lipat.

Hujan terus mengguyur seperti tak kenal kompromi. Dan, bocor kian membuat tetesan air menyebar. Sudah dua anak Bu Nini yang terpeleset jatuh karena lantai licin kena air. Satu kasur pun kian kuyup. Ah, Bu Nini sudah tidak lagi mampu menahan sabarnya.

Ketika malam mulai larut, Bu Nini diam-diam keluar rumah. Anak-anak tampak sudah tertidur pulas. Begitu pun dengan Mbok Iyem. Hujan turun rintik-rintik. Perlahan, Bu Nini mengangkat tangga yang sudah ia siapkan sejak sore tadi. Tangga itu ia tegakkan pada atap rumahnya. Sejenak, Bu Nini keluar halaman. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. “Ah, aman. Tak ada orang...,” ujarnya dalam hati.

Pelan dan berhati-hati sekali, Bu Nini menaiki tangga. Sambil tangan kirinya memegang senter, tangan kanannya mencekal gagang tangga erat-erat. “Ah, jadi ingat waktu anak-anak dulu. Ketika ngambil layang-layang di atas genting,” kembali batin Bu Nini berujar geli.

Beberapa saat, ia berhenti di atas atap. Tangannya mulai memainkan senter yang sejak tadi ia pegang. Bu Nini seperti mencari sesuatu. “Oh, itu sumbernya!” ucap Bu Nini mulai terdengar. Beberapa saat, ia menuruni tangga. Juga dengan pelan dan hati-hati.

Ia pun mengambil tiga genting cadangan yang sudah ia siapkan di pojok halaman. Sambil tangan kiri memegang tiga genting, tangan kanan Bu Nini memegang erat gagang tangga. Berhati-hati sekali ia menapaki anak tangga tanpa alas kaki. “Bismillah,” ujar Bu Nini spontan.

Setibanya di atas, ia seperti mengingat sesuatu. “Ya Allah, senternya masih di bawah!” Dengan tergesa-gesa, ia pun menuruni tangga. Tanpa sadar, pijakannya tak lagi pas di anak tangga. Ia terpleset. Dan, “Brakkk!” Bu Nini terpelanting dari tangga. Karena tangan kanannya masih memegang gagang tangga, tangga itu ikut terbalik. Dan bunyi itu adalah benturan antara tangga dengan pagar halaman rumah Bu Nini. Suara itu spontan membangunkan para tetangga. Dan tentu saja, Mbok Iyem dan anak-anak.

Menekuni hidup berumah tangga memang mirip dengan mengendarai bus. Repotnya akan sangat terasa ketika sopir berhalangan. Dengan sangat terpaksa, kondektur pun mesti merangkap sopir. Itupun kalau bisa menyetir.


Sumber : Eramuslim.com

07/06/10

Melihat Dengan "kacamata" Hikmah

“ Aduh cepatan dong …. kita terlambat nih, aduh kenapa sih tadi pakai sholat Jum’atan dulu, ini kan hari kerja …. ? Dengan gusar , sebut saja si Amin, merangsek dan terus saja nyerosos kepada sang supir untuk mempercepat laju mobilnya, Amin sangat khawatir akan tertinggal pesawat yang akan di tumpanginya.

“ Sabar… tenang …. udeh berhenti dulu keluhannya ” Teman di sampingnya yang mengantarkan Amin ke Bandara mencoba menenangkannya,maklum jalan-jalan di Moskow kalau di hari kerja, apa lagi di hari Jum’at mau pulang kerja, dimana banyak orang pulang kerja setengah hari,biasa mempersiapkan diri untuk ke Dacha ( Vila ) … makan jalan yang sudah bigitu lebar dengan 16 jalurpun masih bisa macet, apa lagi kalau ditambah hujan atau salju di msuim dingin, bisa macet total !

“ Ya… tapi kan … aduh gimana nih…. tadi sih sholat Jum’at dulu “ Amin mulai lagi dengan sesalan dan kegusarannya. Singkat kata sampailah … Amin di Bandara Domodidovo, dengan kelegaan luar biasa, karena waktu yang akan diperlukan untuk pemeriksaan tiket dan migrasi hanya tinggal satu jam dan itupun harus antri dengan cepat – cepat mereka menuju kebagian pemeriksaan tiket. Setelah antri … tibalah giliran Amin, temanya yang dari bagian konsuler menyorongkan paspor dan tiketnya ke petugas, paspor diperiksa, visa dan izin tinggalnya di Moskow , beres, Alhamdulillah. Namun … ketika petugas memeriksa tiketnya…. tanggal kembali ke Jakartanya beda !

“Aduh gimana nih ….” Tanyanya pada teman yang bagian konsuler.
“ Iya, kenapa tidak diperiksa dulu tadi sebelum berangkat ? “ Temanya ikut menyalahkan Amin, “ Kenapa begitu ceroboh, tidak meriksa dulu semuanya ? “ Tanya temannya.
“ Saya tidak periksa, karena yakin dan percaya kepada bagian travel di Jakarta, karena Saya beli tiketnya di Jakarta “ Sahut Amin kepada temannya.
“ Tadi sih kita sholat Jum’at dulu…kan kalau tidak sholat Jum’at dulu kita punya banyak waktu untuk memeriksa segala sesuatunya “ Lagi-lagi Amin, “ menyesali” sudah sholat Jum’at, padahal tak biasanya dia begitu, mungkin karena kejadian yang terduga ini, sesalnya keluar juga.
“ Oke … kalau gitu kita terpaksa nunggu penumpang yang terakhir, bila ada yang tak jadi berangkat, karena ada sesuatu “ Kata temannya.

Akhirnya mereka menunggu, teman-teman yang lain yang ikut mengantarnya, ikut menenangkan Amin. “ Biasa, kejadian seperti ini sering terjadi, udah tenang saja, lebih baik sambil menunggu terus berdoa “ Kata temannya yang lain, beberapa lama kemudian ketika pintu bagian pemeriksaan tiket di tutup dan terdengar kabar … ada penumpanag yang “ batal” berangkat … semuanya mengucapkan puji syukur kepadaNya, “ Alhamdulillah “ Berarti Amin bisa terbang ke Jakarta menggantikan orang yang “batal” terbang.

“ Nah kan … benar tadi kita sholat Jum’at dulu, hingga doa kita dikabulkan “ kata teman-temannya, Amin hanya menunduk, malu. Ya sudah… akhirnya, walau dengan tiket yang salah tanggal, Amin dapat kembali ke Jakarta dari Moskow. Alhamdulillah.

Ilustrasi di atas itu sebagian kecil dari banyak kisah, sebuah musibah menjadi hikmah, memang banyak jalan untuk bersyukur kepadaNya, karena memang hidup dan kehidupan ini banyak sekali hikmah yang terkandung dibalik itu semua, ada hikmah dari segala macam ciptaaanNya, ada hikmah dari segala kejadian dan peristiwa, baik disadari ataupun tidak oleh kita. Kebanyakam manusia memang kurang atau sering kali langsung mengatakan : Tuhan tidak adil ” bila melihat suatu musibah atau mengalami sesuatu yang tidak mengenakan. Jadi tidak melihat ada apa dibalik musibah itu ? Atau tidak mencari suatu hikmah dibalik setiap kejadian.

Seringkali yang terjadi adalah apa yang awalnya dianggap musibah, ternyata dikemudian hari, malahan menjadi berkah. Atau terjadi sebaliknya, apa yang dianggap menyenangkan, di kemudian hari malah menjadi bencana. Ya, manusia memang sering kali “tertipu” pada apa yang nampak dan sering terkecoh pada yang terlihat. ” Apa yang menyangkan , belum tentu baik untukmu dan apa yang terlihat buruk, bisa jadi baik baikmu “ Mari kita lihat bait-bait ini :

Apapun yang terjadi pada alam ini dari yang paling kecil sampai yang paling besar Insya Allah ada hikmahnya.
Sesuai dengan firmanNya
” Ya Tuhan kami tidak ada yang Kau ciptakan dengan sia-sia “
Dari kuman yang tidak kelihatan oleh manusia sampai milyaran galaxy yang maha luas semua mempunyai fungsi masing-masing.
Begitu pula dengan peristiwa manusia, dari penderitaan yang amat memilukan sampai kesenangan yang melenakan semua ada hikmahnya.

Terkadang manusia lupa bila di uji dengan penderitaan, hingga ingkar pada Allah karena penderitaan yang di deritanya, padahal di balik penderitaan ada hikmahnya juga, berupa jiwa yang semakin kuat, tabah, dan tak tergoyahkan.

Maka jangan lekas membuang yang pahit, siapa tahu itu adalah obat bagimu.
Jangan lekas mengatakan Allah tidak adil, siapa tahu Allah di lain waktu memberikan nikmatNya.

Jangan lekas mengeluh bila tak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, siapa tahu Allah akan memberikan sebagai pengganti yang terbaik.
Dan jangan lekas memisahkan sesuatu yang kamu benci dan kau anggap hina, siapa tahu apa yang kamu benci dan kamu hinakan justru di cintai Allah !
Dan jangan segera meminum yang manis, siapa tahu itu adalah racun bagimu.

Siapa yang menyangka,
Jika sampah yang di buang-buang manusia justru bisa dijadikan kompos dan energi listrik.

Siapa yang menduga,
Rambut jagung yang dibuang saat makan jagung rebus atau jagung bakar di Rusia bisakan dijadikan jamu, obat untuk kesehatan.

Siapa yang mengira,
Gerak rumput atau ilalang yang bergoyang adalah prototype gerakan pesawat terbang.

Siapa menyangka,
Nyamuk yang kecil itu membuat kaya raya para pengusaha obat anti nyamuk.

Siapa yang protes terhadap keringat,
Mungkin lupa keringat yang dianggap menganggu telah melahirkan ribuan jenis minyak wangi sejak berabad-abad, dan telah melahirkan ribuan perusahaan dengan berbagai model, membuka lapangan kerja dan melahirkan foto model iklan.

Siapa yang membenci virus,
Ternyata virus yang tak kelihatan itu telah melahirkan para penilti dan para ilmuwan, betapa banyak Doktor tercipta karena virus.

Apa lagi ?
Coba lihat air mata saat kau menangis,
Itu adalah alat pembersih alamiah dan mengurangi beban psikologis, terasa sangat lega dan beban yang terpikul terasa ringan.
Jangan meremehkan air mata !
Ribuan judul puisi bisa lahir karena tangisan, ribuan judul drama, sandiwara, film dan sinetron tercipta karena air mata, ribuan judul novel tercipta berkat air mata.

Dan jangan lupa …… !
Air mata wanita adalah senjata yang sangat tajam yang dapat meruntuhkan kerajaan dan singgasana para emperator !
Siapa yang tahan melihat air mata wanita?

Maka menangislah kamu selagi bisa menangis, tak ada larangan untuk menangis. Bahkan tangisan para aulia dikeheningan malam, saat tahajud dan sujud adalah kunci pembuka pintu syurga !

Apa lagi ?
Lihat kulitmu yang tipis dan halus mulus, tebalnya hanya sepersekian mili yang membungkus daging.

Siapa yang mengira,
Kulit yang dianggap biasa adalah jaket yang sempurna bagi daging, tergores sedikit saja maka kuman-kuman segera datang menyerang daging dan terjadilah pembusukan dan borok.
Di akhirat kulitpun akan menjadi saksi, dan dimintai pertanggung jawaban, bila merasa diri tidak cantik sehingga kurang bersyukur datanglah ke rumah sakit, kau akan menemukan berbagai jenis penyakit yang bisa juga menyerangmu.
Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kau dustakan ?

Tak ada yang sia-sia apapun yang diciptakanNya.
Bila ada sesuatu ciptaanNya yang kelihatannya tak berguna, itu bukan berarti sia-sia !
Hanya manusia belum menelitinya atau tidak tahu fungsinya saja, yakinlah ada hikmah di balik penciptaanNya. Dan jika mau di tulis hikmah setiap ciptaanNya niscaya manusia tak mampu melakukannya karena tak terhingga banyaknya !

Maka bahagialah orang yang pandai mengambil hikmah atau pelajaran dari setiap kejadian, baik yang langsung menimpa dirinya atau yang menimpa orang lain. Bahagialah orang selalu melewati hari-harinya dengan membawa dan menggunakan ” kaca mata hikmah “, karena dengan kaca mata hikmah ini, dia dapat melihat seluas luasnya dari setiap kejadian apapun, dengan kaca mata hikmah, seakan dia melihat sesuatu dari segala sisi, dari segala arah, dari segala sudut, dari multi dimensi, hingga dia dapat menghadapi hidup penuh kebahagiaan dan ketentraman jiwa.

Orang yang selalu memandang kejadin dengan ” kaca mata hikmah ” akan mendapat bimbingan dan hidayah Tuhan yang sangat besar, orang seperti ini akan selalu berpikir positif melihat suatu kejadian, hingga yang dalam dirinya penuh dengan hikmah dan kebajikan, yang ada dalam dirinya, baik, baik dan selalu kebaikan. Hatinya begitu lapang, kelapangan dadanya meluas, terkadang tak terjangkau oleh manusia kebanyakan.

(eramuslim.com)

03/06/10

Nasib Pemburu Dunia

Saudaraku, sungguh Allah ta’aala memang Maha Pemurah. Allah ta’aala tidak membedakan pemberian karuniaNya kepada golongan pencinta dunia maupun golongan pemburu akhirat. Keduanya Allah ta’aala berikan bantuan dari kemurahanNya. Namun Allah ta’aala tegaskan bahwa nasib akhir para pemburu akhirat jauh lebih baik dan lebih terpuji.


"Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.
 " (QS Al-Israa ayat 20-21)


Saudaraku, manusia pencinta dunia adalah manusia yang tidak sabar. Sebab mereka ingin memperoleh yang dekat sambil meninggalkan yang jauh. Yang dekat ialah kesenangan dunia fana. Sedangkan yang jauh ialah kebahagiaan hakiki akhirat yang kekal-abadi dan kehadirannya sesudah berlalunya kehidupan dunia ini.

Allah ta’aala berjanji akan menyempurnakan keberhasilan para pencinta dunia di dunia. Allah ta’aala tidak menghalangi pencinta dunia untuk memperoleh keberhasilannya di dunia jika ia penuhi segenap sebab-sebab keberhasilannya. Allah ta’aala tidak akan membiarkan mereka merugi di dunia. Namun Allah ta’aala mengancam dengan kepastian neraka di akhirat bagi mereka dikarenakan sempitnya pandangan mereka yang hanya mengidamkan keberhasilan sebatas dunia fana ini.


"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan"
(QS Hud15-16).


Sebagian muslim kadang heran mengapa para pencinta dunia dan ahli maksiat kok semakin hari semakin mudah meraih keberhasilan duniawi. Padahal firman Allah ta’aala di atas jelas-jelas menyebutkan  bahwa Allah ta’aala memang memudahkan para pencinta dunia untuk memperoleh apa yang mereka cita-citakan. Ini sudah merupakan hukum Allah ta’aala. Jadi kita tidak perlu merasa heran mengapa orang-orang seperti para selebritis alias ahli maksiat semakin sukses secara duniawi.


Begitu pula sebaliknya. Ada sebagian muslim yang sulit memahami mengapa orang-orang beriman hidupnya di dunia begitu sulit dan sarat penderitaan. Padahal memang inilah ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah ta’aala. Bahkan dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaihi wa sallam jelas-jelas bersabda:


"Dunia itu penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir."  
(HR Tirmidzy 2246)


Orang beriman hidup di dunia laksana dalam penjara karena ia dengan penuh kesadaran memilih jalan hidup yang sarat dengan komitmen terhadap peraturan dan batasan-batasan yang telah digariskan Allah ta’aala. Ia tidak pernah merasa enggan dan keberatan untuk mentaati peraturan dan batasan Allah ta’aala sebab ia tahu bahwa dengan menempuh jalan hidup seperti itulah ia bakal memasuki kehidupan selanjutnya dengan penuh kehormatan dan kebahagiaan hakiki. Ia  tidak merasa keberatan dengan segala kesulitan hidup dunia sebab ia tidak pernah menjadikan dunia sebagai batas pengetahuan dan ambisinya. Pengetahuan dan ambisi hidupnya jauh melampaui dunia fana ini sampai ke akhirat yang kekal-abadi. Ia sadar bahwa kalaupun hidupnya harus susah di dunia, maka itu tidak akan berlangsung selamanya. Dunia ini sangat sementara dan sangat singkat perjalanannya. Adapun akhirat merupakan tempat yang jauh lebih hakiki dan kekal untuk dijadikan ambisi.


"Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik." 
(QS Al-Israa ayat 19)


Sebaliknya, orang-orang kafir sedemikian obsesinya untuk meraih kesenangan secepat mungkin, maka mereka menyangka bahwa hanya di dunia inilah ia perlu menikmatinya. Itulah sebabnya mereka demikian bersungguh-sungguh untuk mengejarnya. Mereka ingin memaksa agar surga segera dirasakan secepatnya di dunia fana ini. Mareka tidak sabar. Bahkan mereka tidak yakin masih ada lagi kehidupan selain di dunia ini. Maka daripada berspekulasi dengan akhirat yang belum pasti keberadaannya lebih baik bersegera mewujudkan surga di dunia ini dan menjauh dari neraka dunia sedapat mungkin. Harus kaya, harus senang, harus berkuasa  sekarang. Jangan biarkan diri sedih dan menderita di dunia.


"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir."
(QS Al-Israa ayat 18)
(SUMBER : eramuslim.com)

02/05/10

8 Cara Mengobati Patah Hati


Anak-anak remaja sekarang, pasti rentan dengan yang namanya ‘Jatuh Cinta’. Kayanya gak ada deh!! Remaja yang belum merasakan yang namanya jatuh cinta. Apa lagi cewek, cewek tuh cenderung lebih mudah buat ngerasain yang namanya jatuh cinta. Nah, kalo dah jatuh cinta! Lupa sama semuanya, sama kerjaan rumah, sama teman, sama tugas sekolah, bahkan ada juga yang sampai lupa ma Allah (Naudzubillah min dzalik, jangan sampe ya!). Mereka ngerasa dunia cuma milik berdua, cie!!

Tapi, kalo ternyata cowok yang ditaksirnya itu dah punya cewe atau dia gak suka sama kita. Ehm…pasti deh!! Kita bakal nangis gak karuan, rasanya hati tuh hancur berkeping-keping. Mau tahu caranya mengobati patah hati? Niy dia 8 cara mengobati patah hati:

1. Berhenti memikirkan si dia, don’t be alone!
Jangan buang-buang waktu memikirkan seseorang yang saat ini kemungkinan besar sedang berbahagia bersama orang lain, dan sama sekali tidak  memikirkanmu, alihkan pikiran dan fokusmu kepada hal lain. Ujian yang di depan mata, misalnya. Sediakan dirimu 100 persen untuk siap men-support keluargamu: papa, mama, kakak, atau adikmu. Habiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman. Sebisa mungkin lawan keinginan untuk bersendirian yang akan membuatmu lebih nelangsa.

2. Singkirkan semua kenangan
Jangan simpan kartu ucapan, hadiah-hadiah (kecuali kalau mahal kali ya, dibuang sayang… di jual aja kali ya? Hehehe), apalagi fotomu berdua si dia. Singkirkan. Terserah untuk sementara waktu atau dibuang hingga hilang dari hidupmu selamanya.

Termasuk kaset-kaset yang menyisakan kenangan bersamanya. Semakin sedikit hal yang mengingatkanmu padanya, semakin cepat kemungkinan hatimu pulih.

Mudah-mudahan saja tidak ada anggota keluargamu yang wajahnya mirip si dia ya? Kalau ya…repot juga, hehehe.Termasuk kaset-kaset yang menyisakan kenangan bersamanya. Semakin sedikit hal yang mengingatkanmu padanya, semakin cepat kemungkinan hatimu pulih.

3. Pikirkan kekurangannya!
Jika sekali-kali terlintas kenangan betapa baiknya dia, betapa manisnya, betapa perhatiaannya… stop! Hentikan pemikiran yang membuatmu semakin merasa sedih karena kehilangan dia. Sebaliknya pikirkan kekurangan-kekurangannya. Saat dia memperlakukanmu dengan tidak baik, mungkin bersikap cuek padamu di depan teman-temannya, atau saat kamu sakit dan dia tidak peduli. Atau sikapnya yang kurang santun terhadap keluargamu. Lihat juga bagaimana tidak berperasaannya dia ketika memutuskan hubungan denganmu, ayolah......kamu layak mendapatkan yang lebih baik.

Kumpulkan kekurangan-kekurangannya yang lain. Apakah dia tidak memiliki tujuan dalam hidup? Cita-cita? Malas? Cepat menyerah? Tidak punya keberanian? Apakah dia pernah meminum alcohol dan lain sebagainya…
Garis bawahi satu hal: Bukan kamu yang rugi dengan selesainya hubungan kalian, tetapi dia.

4. Bergeraklah…do it something!
Bergerak, jangan diam. Lakukan sesuatu, jangan melamun.Dalam keadaan diam dan melamun , kesedihan akan terasa berlipat-lipat. Jadi, buang rasa enggan, dan hupp… bangkit deh dari tempat tidur, dan lakukan sesuatu. Mungkin membenahi kamarmu. Atau beres-beres rumah. Menata ulang ruang tamu atau ruang makan. Mungkin juga merapikan kebun kecil di depan rumahmu.

Balas surat-surat dari teman. Selesaikan kewajiban-kewajiban yang selama ini tertunda. Susun ulang album fotomu. Bongkar koleksi pakaianmu di lemari. Atau barang-barang lama yang nyaris tidak pernah dipakai lagi. Kamu bisa juga hubungi teman-teman dan ajak mereka mengumpulkan barang-barang tidak terpakai. Kenapa nggak membuat bazar sosial dari benda-benda bekas yang terkumpul itu? Dananya bisa kamu sumbangkan kepada anak-anak yatim, atau mereka yang membutuhkan. Yakin deh, berbuat baik bagi orang lain, akan membuat perasaanmu menjadi lebih baik.

5. Lakukan hal-hal yang nggak kamu banget!
Coba deh melakukan beberapa hal yang belum pernah kamu lakukan sebelumnya. Entah karena nggak terpikir, entah karena kamu malu dan nggak berani. Misalnya saja, kenapa nggak ajak teman baikmu karaokean bareng. Nggak perlu ke klub karaoke, cukup dirumah aja. Sebelumnya bisa minta maaf sama nyokap, bokap, adik, kakak, kalau hari ini mereka harus mendengar suaramu lebih dari biasanya. Putar CD-CD nasyeed pilihan. Atau beli VCD senam yang kamu bisa ikuti gerakannya.

Kalau kamu suka masak, kenapa nggak mencoba resep dari koran atau majalah dan bereksperimen di dapur. Melakukan hal-hal yang kamu nggak sukai akan memeras banyak pikiranmu, dan membuatmu sibuk, ketimbang melakukan hal-hal yang kamu sukai. Meski keduanya boleh dicoba. Apa pun yang bisa membuat perasaanmu lebih baik.

6. Jika kamu terlalu sedih…..
Jika kamu terlalu sedih, kamu boleh menangis, menulis puisi atau diary berlembar-lembar. Tapi berjanjilah satu hal...kasih deadline untuk kesedihanmu. Tiga harikah atau seminggukah. Jangan lebih dari itu. Kalau perlu buat hukuman jika kamu larut dalam kesedihan melebihi kontrak yang sudah kamu buat dengan dirimu sendiri.

7. JANGAN!!!
Sesedih apa pun itu, jangan melakukan hal-hal yang merusak dirimu sendiri. Rugi banget. Kamu korban dan nggak perlu menjadi lebih parah. Percayalah, menyakiti diri sendiri apalagi jika berusaha bunuh diri  (neraka jahannam) tidak akan membuat dia kembali padamu. Sikap ini justru akan membuat sedih orang-orang yang sungguh sayang dan mencintaimu. Ingat, mereka bukanlah pihak yang harus kamu hukum dengan keputusan nekadmu!

 8. Kembali kepada Dia 

"Ketika kamu terlalu sedih, ketika kamu tidak sanggup bangkit, ketika kamu merasa tidak punya siapa-siapa… kamu sebenarnya tidak pernah sendirian. Ada Allah. Dia yang siap memelukmu dalam kasih yang sesungguhnya. Dalam cinta yang jauh lebih besar dari yang bisa diberikan seseorang."
Kenapa nggak jadikan momen patah hatimu sebagai bentuk hijrah dan pendekatan kembali kepada Sang Pencipta? Dia yang seumur hidupmu tidak pernah meninggalkanmu sedikit pun. Dia yang kepadaNya kamu sudah banyak melakukan kesalahan.

Gunakan salat dan ibadah sebagai momen menenangkan diri. Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. Jangan pernah kehilangan kepercayaan kepadaNya. Terima apa yang terjadi dengan ikhlas. Mudah-mudahan Allah memaafkan kesalahanmu, dan memberi ganti sosok yang lebih baik. Pada waktunya nanti. InsyaAllah.

Muslimah Kini dan Nanti

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya .... ” (QS An-Nur : 31)

Sudah sering mendengar ayat ini? atau mungkin telah mengahafalnya? Ya ... ayat ini menjadi bukti betapa Islam melindungi seorang wanita. Kemuliaan seorang wanita dalam Islam terletak pada usahanya untuk menjaga kehormatan dirinya. Islam telah mengatur bagaimana seorang wanita bisa menjadi mulia dengan akhlaq, menutup aurat dan melaksanakan perintah Allah. Perintah menutup aurat bukan mengekang kebebasan seorang wanita, justru memperlihatkan bahwa Islam mengerti dengan apa yang dibutuhkan oleh wanita.

Bila diibaratkan, terdapat dua buah kue yang sama jenisnya, dijual di tempat yang terpisah, yang satu ditaruh di etalase kaca bertulisan jangan disentuh dan yang satu lagi dibiarkan “berdesakan” dengan jajanan lain tanpa penutup apa-apa dan yang pasti telah sering dipegang oleh tangan-tangan yang belum tentu steril.

Nah, kita diminta memilih, mana yang akan kita beli ? secara logika tentu saja kita pilih yang tidak pernah dipegang karena pasti terjaga kualitasnya. Seperti itu pula wanita, begitu sayangnya Allah sehingga Ia ingin menjadian kita sesuatu yang “mewah” dan suci karena terlindungi ...

sebuah kisah akan mengingatkan kita pada wanita mulia ....

Dari Atha bin Abi Rabah, ia berkata, Ibnu Abbas berkata padaku, “Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya.”
Ia berkata, “Wanita hitam itulah yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah menyembuhkannya.' Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah menyembuhkanmu.' Wanita itu menjawab, ‘Aku pilih bersabar.’ Lalu ia melanjutkan perkataannya, ‘Tatkala penyakit ayan menimpaku, aura tku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.’ "

Apa amal yang mengantarkannya menjadi seorang wanita penghuni surga? Apakah karena ia adalah wanita yang cantik jelita dan berparas elok? Ataukah karena ia wanita yang berkulit putih bak batu pualam? Tidak. Bahkan Ibnu Abbas menyebutnya sebagai wanita yang berkulit hitam. Wanita hitam itu, yang mungkin tidak ada harganya dalam pandangan masyarakat. Akan tetapi ia memiliki kedudukan mulia menurut pandangan Allah dan Rasul-nya.

Inilah bukti bahwa kecantikan fisik bukanlah tolak ukur kemuliaan seorang wanita. Kecuali kecantikan fisik yang digunakan dalam koridor yang syar’i. Yaitu yang hanya diperliha tkan kepada suaminya dan orang-orang yang halal baginya. Kecantikan iman yang terpancar dari hatinyalah yang mengantarkan seorang wanita ke kedudukan yang mulia. Dengan ketaqwaannya, keimanannya, keindahan akhlaqnya, dan amalan-amalan salihnya, seorang wanita yang buruk rupa di mata manusia akan menjelma menjadi secantik bidadari surga.

Subhanallah, ternyata untuk menjadi mulia tidak butuh kosmetik mahal, perawatan kulit untuk menjadi putih dan alat-alat kecantikan lainnya, namun yang dibutuhkan hanya kesabaran dalam “memutihkan” hati dan menjaga kesucian diri.

Sekarang, patutlah diri di depan kaca, dan katakanlah bahwa saya akan menjadi seorang wanita mulia mulai sekarang dan nanti. Kenapa nanti? karena tidak ada yang tahu apakah kita masih seperti sekarang besok, beberapa hari lagi bahkan bertahun-tahun berikutnya, karena baiknya iman kita saat ini ... ketulusan yang hadir hari ini belum tentu bertahan hingga nanti jika tidak ada usaha untuk memperbaiki diri.

Kesempatan untuk memompa semangat tidak selalu datang begitu saja, ia butuh diberi sebuah asupan dari saat ini, keinginan untuk terus berubahpun tak datang tiba-tiba karena butuh keteguhan dan kekuatan cinta pada Ilahi. Modal tersebut akan didapat melalui proses pencarian sebuah ilmu yang mampu memantapkan hati kita bahwa muslimah seperti inilah yang diharapkan muncul dari sebuah generasi pembaharu.

Muslimah yang teguh dengan hijabnya, yang terus menambah wawasan keislamannya dan muslimah yang mampu mempengaruhi orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Jilbab yang hadir di tengah masyarakat yang gersang akan ilmu agama bisa menarik orang lain untuk mendalami Islam, apalagi bila ditambah dengan kecerdasan dan talenta yang dimilki oleh muslimah tersebut,maka akan dapat menimbulkan tarikan yang lebih kepada mereka.

Berangkat dari pemahaman inilah terdapat kesimpulan bahwa ancaman muslimah dalam kehidupannya dipengaruhi oleh lingkungan yang homogen dan heterogen. Hanya tinggal muslimah itulah yang berusaha untuk menjaga dirinya sekarang dan hingga nanti ... Wallahu’alam bishowwab  (Era Muslim)

Feminisme Tak Membuat Perempuan Bahagia


Persamaan hak  kaum perempuan dan laki-laki  menjadi isu yang tidak pernah berhenti dibahas di kalangan aktivis perempuan. Kalangan feminis memanfaatkan istilah "hak asasi" dan "pemberdayaan" perempuan untuk menyuarakan gerakan feminisme.

Sekilas, konsep feminisme tidak bermasalah karena bertujuan untuk mengangkat derajat kaum perempuan yang selama ini dianggap didiskriminasikan dan dilanggar hak-haknya oleh kaum lelaki. Tapi konsep feminisme yang notabene berasal dari Barat dan menggunakan standar-standar kehidupan perempuan Barat yang cenderung bebas. Belakangan diketahui banyak menimbulkan masalah bagi kaum perempuan itu sendiri. Mereka justeru tidak bahagia dalam hidupnya, bahkan banyak diantara kaum perempuan yang terjerumus dalam tindak kriminal.

Sahar El-Nadi, seorang instruktur profesional dan penceramah di bidang komunikasi antar budaya dalam artikelnya "The Other Side of Feminism" mengungkap konsep feminisme ala Barat yang bermasalah itu. Ia mengatakan, konsep feminisme jadi problem karena dengan alasan persamaan hak dan kesetaraan, sadar atau tidak sadar perempuan di tanamkan pemikiran dan pandangan bahwa kaum lelaki adalah manusia yang agresif, emosional, memonopoli lapangan kerja dan menutup kesempatan bagi kaum perempuan untuk memiliki banyak pilihan selain hanya mengurusi urusan rumah tangga. 

Agenda feminisme yang dikedepankan kaum feminis sekarang ini, tulis El-Nadi, adalah persamaan hak yang cenderung membuat perempuan "identik" dengan laki-laki. Mereka menolak argumen bahwa kaum lelaki dan perempuan memiliki perilaku yang berbeda karena peran mereka dalam hidup pun berbeda. Kaum feminis akan menyebut orang-orang yang beragumen demikian sebagai orang yang 'seksis', dikriminatif, pendukung "agenda chauvinis kaum lelaki" dan ingin mengendalikan kaum perempuan dalam sebuah sistem masyarakat yang patriarkis. 

Kesetaraan menurut konsep feminisme, bahwa laki-laki dan perempuan harus memiliki kehidupan yang sama, tanggung jawab yang sama dan pada akhirnya mengalami tekanan hidup yang sama. Apakah konsep itu membuat kaum perempuan bahagia? Ternyata tidak. Semakin perempuan merasa berhasil menjalankan standar-standar feminisme itu, kenyataannya semakin mereka merasa sengsara. 

Lembaga General Social Survey pernah melakukan penelitian tentang hal ini di kalangan masyarakat AS. Mereka meneliti bagaimana mood masyarakat AS dari mulai tahun 1972 hingga sekarang, dan hasilnya, kaum perempuan AS yang notabene menganut konsep feminisme, kehidupannya lebih suram dibandingkan kaum lelaki. Perempuan mengalami kondisi yang lebih buruk, karena mereka diminta untuk memainkan dua peran bukan satu peran bahwa tugas perempuan di dalam rumah dan tugas laki-laki mencari nafkah di luar. 

Dibawah 'revolusi feminisme' kaum perempuan menang dalam mendapatkan apa yang disebut kebebasan dalam dunia laki-laki, sementara kaum lelaki banyak yang mengalami krisis jati diri. Sehingga tak heran jika sekarang banyak kaum lelaki yang 'feminim', berpakaian dan bertingkah laku seperti perempuan. Perubahan semacam ini bisa dipahami, karena konsep kesetaraan itu, sejak kecil anak-anak perempuan didorong untuk belajar berani dan agresif seperti anak-anak laki. Gaya mendidik seperti ini akan terbawa sampai anak perempuan tadi dewasa. Mereka akan tumbuh dengan pendekatan untuk menjadi "manusia yang egois" di dunia. 

Konsep feminisme yang sekarang berkembang, membuat kaum perempuan, utamanya di negara-negara maju jadi meremehkan peran perempuan sebagai isteri dan ibu. Banyak diantara mereka yang tidak mau direpotkan dengan kewajiban-kewajiban sebagai isteri dan ibu sehingga mereka cenderung memilih melakukan seks bebas tanpa komitmen, memilih membesarkan anak-anak tanpa kehadiran seorang ayah bahkan menikah sesama jenis. Semuanya dilakukan atas nama "hak asasi perempuan." Jika sudah demikian, maka lenyaplah peran kaum perempuan dalam masyarakat. 

"Sebagai seorang muslim, saya sedih melihat makin banyak kaum perempuan di berbagai penjuru dunia yang berlomba-lomba mengikuti jalan feminisme akhirnya jatuh ke jurang yang sama. Bagi para muslimah, Al-Quran dengan jelas menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan berbeda antara kaum lelaki dan kaum perempuan. Masing-masing dianugerahkan peran yang berbeda pula untuk saling mendukung sebagai satu tim, dan bukan untuk saling bersaing," tulis El-Nadi. 

"Tak seorang pun yang ingin mencerabut hak-hak kaum perempuan, tapi kita harus memahami bahwa kebebasan bukan berarti harus mendegradasikan kaum perempuan dan persamaan hak bukan berarti harus 'identik'. Kaum perempuan membawa karunia dan nilai-nilai yang unik bagi dunia. Peran perempuan dalam memulihkan nilai-nilai keluarga dalam kehidupan masyarakat yang modern bisa membuat kaum lelaki, anak-anak bahkan perempuan itu sendiri, hidup bahagia," papar El-Nadi.

Nah, para muslimah, rasanya tak perlu silau dengan propaganda kesetaraan gender dan persamaan hak asasi yang digaungkan para aktivis feminisme.

19/04/10

85 Tahun Umat Islam Hidup Bak Gelandangan Tanpa Rumah

Tidak banyak muslim yang tahu bahwa 85 tahun yang lalu telah terjadi sebuah peristiwa yang sangat mempengaruhi perjalanan kehidupan umat Islam di seantero dunia. Persisnya pada tanggal 3 Maret 1924 Majelis Nasional Agung yang berada di Turki menyetujui tiga buah Undang-Undang yaitu: (1) menghapuskan kekhalifahan, (2) menurunkan khalifah dan (3) mengasingkannya bersama-sama dengan keluarganya.

Turki pada masa itu merupakan pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah terakhir. Kekhalifahan terakhir umat Islam biasa dikenal sebagai Kesultanan Utsmani Turki alias The Ottoman Empire, demikian penyebutannya dalam 
kitab-kitab sejarah Eropa. Kekhalifahan Utsmani Turki merupakan kelanjutan sejarah panjang sistem pemerintahan Islam di bawah Ridha dan Rahmat Allah yang berawal jauh ke belakang semenjak Nabi Muhammad pertama kali memimpn Daulah Islamiyyah (Tatanan/Negara Islam) Pertama di kota Madinah.


Secara garis besar kita dapat membagi periode sejarah kepemimpinan Islam ke dalam lima periode utama berdasarkan sebuah Hadits Shahih Nabi riwayat Imam Ahmad.


 تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ ا للهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ  أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَّرِيًّا ، فَتَكُوْنَ مَا شَاءَ اللهُ  أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، ثُمَّ سَكَتَ

“Periode  an-Nubuwwah (kenabian) akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya, setelah itu datang periode  khilafatun ‘ala minhaj an-Nubuwwah (kekhalifahan atas manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’aala mengangkatnya, kemudian datang periode mulkan aadhdhon (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa, selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’aala, setelah itu akan terulang kembali periode khilafatun ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam,”(HR Ahmad 17680).

Periode pertama adalah Kepemimpinan langsung Nabi Muhammad yang disebut sebagai masa An-Nubuwwah(Kenabian). Periode kedua merupakan Kepemimpinan para sahabat utama yakni Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattb, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan julukan Khulafaur Rasyidin (Para khalifah yang adil, jujur, benar dan terbimbing oleh Allah SWT). Di dalam hadits tersebut periode ini dikenal sebagai periodeKhilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah (Kekhalifahan yang mengikuti Manhaj/Sistem/Metode/Cara Kenabian).

Sesudah itu, kata Nabi, pada periode ketiga umat Islam akan mengalami kepemimpinan para Mulkan ’Aadhdhon(Para Raja/Penguasa yang Menggigit).  Kepemimpinan para Mulkan ’Aadhdhon (Para Raja/Penguasa yang Menggigit)  merupakan periode dimana umat Islam memiliki para pemimpin yang tetap mengaku dan dijuluki sebagai para Khalifah. Mereka masih menyebut pemerintahannya sebagai Khilafah Islamiyyah(Kekhalifahan Islam), namun pola suksesi seorang khalifah kepada khalifah berikutnya menggunakan cara pewarisan tahta laksana sistem kerajaan turun-temurun. Periode ini bisa dikatakan merupakan periode paling lama dalam sejarah Islam, ia berlangsung sekitar tigabelas abad, semenjak Daulat Bani Umayyah, lalu Daulat Bani Abbasiyyah dan berakhir dengan Kesultanan Utsmani Turki. Itulah sebabnya mereka dijuluki oleh Nabi sebagai para Mulkan atau Raja-raja.

Kemudian disebut sebagai  Mulkan ’Aadhdhon (Para Raja/Penguasa yang Menggigit) karena betapapun keadaannya para raja tersebut masih ”menggigit” Al-Qur’an dan As-Sunnah, dua sumber utama nilai-nilai dan hukum-hukum Islam, kendati tidak sebaik para Khulafaur Rasyidin yang ”menggenggam” Al-Qur’an dan As-Sunnah. Coba bandingkan antara orang yang mendaki bukit dengan tali, tentu yang lebih aman dan pasti ialah orang yang ”menggenggam” talinya sampai ke atas daripada orang yang ”menggigit”-nya.

Itulah sebabnya kita jumpai dalam sejarah bahwa pada periode ketiga (Para Raja/Penguasa yang Menggigit) Dunia Islam tampak mengalami degradasi dibandingkan pada periode kedua (Kekhalifahan yang mengikuti Manhaj/Sistem/Metode/Cara Kenabian). Namun demikian, sebagai sebuah sistem, maka periode ketiga masih menyaksikan berlakunya sistem Islam dalam hal pemerintahan. Masalahnya tinggal apakah person yang memimpin merupakan sosok yang adil ataukah zalim. Ada kalanya adil seperti Umar bin Abdul Aziz. Dan kalaupun Allah taqdirkan yang memimpin adalah sosok yang zalim, maka kita temukan berbagai pandangan ulama di masa itu yang melarang rakyat melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Mengapa? Sebab sebagai sebuah sistem ia masih menjunjung tinggi Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sejak tanggal 3 Maret 1924 umat Islam menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa kehadiran sistem pemerintahan Islam Al-Khilafah Al-Islamiyyah. Seorang Yahudi Dunamah, Penggila Budaya Barat, Pengagum Sekularisme dan juga seorang pemabuk-pedansa bernama Mustafa Kemal memproklamir pembubaran sistem pemerintahan Islam tersebut. Suatu pemerintahan yang sesungguhnya merupakan warisan ideologis-sosial-politik-budaya umat yang bermula sejak kepemimpinan Nabi Muhammad di kota Madinah 15 abad yang lalu. Dan mulailah sejak saat itu umat Islam menjadi laksana anak-anak ayam kehilangan induk, anak-anak yatim tanpa ayah serta gelandangan tanpa rumah pelindung dari panasnya terik matahari dan dinginnnya hujan.

Sudah 85 tahun sejak peristiwa tragis tersebut berlangsung. Sedemikian jauhnya pemahaman dan pengalaman umat Islam mengenai realitas kehidupan di bawah naungan tatanan khilafah Islam sehingga banyak muslim yang menyangka bahwa sistem kehidupan dengan konsep nation-state dewasa ini merupakan sebuah sistem yang cukup memuaskan dan sudah final. Padahal kehidupan dengan sistem nation-state bagi umat Islam merupakan sebuah kehidupan darurat laksana para gelandangan yang terpaksa membangun bedeng sebagai rumah sementara karena raibnya rumah mereka yang semestinya. Mungkin karena sudah terlalu lama  ”menikmati” hidup di bedeng-bedeng akhirnya mereka mulai menyesuaikan diri dan terbius untuk meyakini bahwa memang sudah semestinya mereka nrimo hidup tanpa pernah lagi punya rumah semestinya. Awalnya hanya terpaksa menjadi gelandangan, lama kelamaan secara sukarela meyakini dan menumbuhkan mentalitas gelandangan di dalam jiwa...!

Lalu bagaimana gerangan nasib umat Islam selanjutnya? Berdasarkan hadits Nabi riwayat Imam Ahmad tersebut ternyata Nabi menggambarkan bahwa periode keempat umat Islam bakal hidup ”tanpa khilafah”. Periode tersebut Nabi sebut sebagai periode Mulkan Jabbariyyan (Para Raja/Penguasa yang Memaksakan Kehendak). Saudaraku, periode itulah yang sedang kita lalui dewasa ini. Suatu periode dimana umat Islam tidak saja kehilangan personkhalifah  yang layak memimpin dan melindungi mereka, namun lebih jauh daripada itu mereka bahkan tidak lagi dinaungi oleh sistem pemerintahan Islam bernama Khilafah Islamiyyah. Inilah periode kepemimpinan Mulkan Jabbariyyan alias para penguasa yang memaksakan kehendak yang berarti mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Inilah periode dimana umat Islam Babak Belur..!! Inilah periode paling kelam dalam sejarah Islam. We are living in the darkest ages of the Islamic history...!

Kondisi di periode keempat ini menggambarkan dekadensi yang Nabi sebutkan dalam haditsnya sebagai berikut:


لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ

بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya.  Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah shalat,” (HR Ahmad 45/134).

Praktis dewasa ini segenap simpul dari ikatan Islam telah terurai seluruhnya. Sejak dari simpul hukum yang tercermin dengan runtuhnya tatanan Khilafah hingga banyaknya muslim yang dengan seenaknya meninggalkan kewajiban sholat  tanpa rasa bersalah...  Dewasa ini umat Islam merasakan suatu kehidupan jahiliyyah modern mirip dengan keadaan Nabi dan para sahabat pada periode pertama bagian awal yakni ketika mereka berjuang melawan kejahiliyyahan di kota Mekkah dan segenap jazirah Arab sebelum berhijrah ke Madinah.

Saudaraku, betapapun pahitnya periode keempat ini, tidak selayaknya kita berputus asa apalagi sampai menerima sepenuhnya sistem yang diberlakukan fihak musuh Islam di fase ini. Tidak selayaknya kita kehilangan harapan bahwa sesungguhnya rumah sejati kita dapat dibangun kembali. Kita hendaknya menyadari bahwa urusan kepemimpinan merupakan giliran yang Allah taqdirkan akan senantiasa berubah-ubah di dalam kehidupan dunia fana ini. Adakalanya giliran kepemimpinan diberikan kepada umat Islam adakalanya diberikan kepada kaum kuffar.  Yang penting al-wala(loyalitas) kita terhadap al-haq di satu sisi dan al-bara(penentangan) kita terhadap al-batil  di lain sisi harus tetap kita pelihara terus.

Sebab berdasarkan hadits periodisasi di atas kita temukan harapan dimana Nabi menyatakan bahwa periode keempat ini bukanlah periode terakhir sejarah umat Islam. Masih ada satu periode lagi yang kita akan jelang, yaitu periode kelima berjayanya kembali umat ini dengan tegaknya kembali Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah (Kekhalifahan yang mengikuti Manhaj/Sistem/Metode/Cara Kenabian). Umat Islam akan menyaksikan munculnya kembali para pemimpin sekaliber Khulafaur Rasyidin di akhir zaman. Umat Islam akan memiliki kembali rumah syar’i mereka Al-Khilafah Al-Islamiyyah, insyaAllah.

Yang paling penting dewasa ini umat Islam harus memelihara kesabaran, istiqomah dan optimisme mereka akan masa depan. Dan yang lebih penting lagi  ialah hendaknya mereka berjuang sebagaimana berjuangnya Nabi dan para sahabat di Mekkah sebelum adanya Daulah Islamiyah Madinah. Mereka berjuang dengan fokus utama pada kegiatan da’wah mengajak manusia sebanyaknya kepada way of life Diin Al-Islam, tarbiyyah mengkader para muslim untuk meningkat menjadi mukmin, muttaqin bahkan mujahidin. Mereka tidak sedikitpun berkompromi dengan nilai-nilai dan sistem jahiliyyah yang mendominasi saat itu. Mereka sibuk hanya menjalankan program berdasarkan arahan dan bimbingan wahyu Allah dan supervisi Nabi Muhammad.

Saudaraku, marilah kita pastikan diri ikut dalam program menjemput datangnya periode kelima berdasarkan jalan yang dicontohkan Nabi dan para sahabatnya. Jangan hendaknya kita malah terlibat dalam program-program tawaran manusia yang sedang memimpin di babak keempat ini sambil menyangka dan meyakini bahwa itulah jalan untuk bisa mendatangkan kejayaan Islam. Tegaknya Khilafah tidak mungkin mengandalkan negosiasi-negosiasi di meja perundingan dengan kaum kuffar yang sedang mendominasi dunia dewasa ini. Atau mengharapkan jalannya laksana melewati taman-taman bunga indah, apalagi sekedar mengandalkan "permainan kotak suara". Saudaraku, kembaliinya kejayaan Islam tentulah menuntut pengorbanan yang sangat boleh jadi   mengakibatkan tetesan airmata bahkan darah karena harus menempuh jalan yang telah ditempuh Nabi dan para sahabatnya yaitu ad-Da’wah al-Islamiyyah, At-tarbiyyah Al-Harakiyyah dan Al-Jihadu fii Sabilillah.
 
Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan hamba-hambaMu yang terdaftar ke dalam pasukan jihad Imam Mahdi. Ya Allah, berilah kami salah satu dari dua kebaikan ’isy kariiman (hidup mulia di bawah naungan SyariatMu) atau mut syahiidan (mati syahid). Amin

07/04/10

Ketika Ibu Harus Terpaksa Berangkat Kerja

Sering, bukan sekali dua kali penulis menjadi curahan hati ibu-ibu muda yang sedih dan gelisah. Apakah mereka sedih dan gelisah karena uang belanja kurang? Bukan, tapi mereka sedih dan gelisah karena meninggalkan buah hati di rumah. Bahkan salah satu anak dari ibu muda itu pernah berkata: 

“Ibu jangan berangkat kerja. Temani aku main.”
“Tapi ibu harus bekerja, Nak. Supaya bisa membelikan mainan kamu.” 
“Biar ayah saja yang bekerja, ibu jangan pergi.”


Anak usia balita itu pun melepas kepergian ibunya untuk bekerja dengan rewel. Si ibu pun berangkat ke kantor dengan wajah suram. Dan sesampainya di kantor, ia pun menumpahkan perasaannya pada saya.

“Benar Mbak, saya bekerja ini bukan demi karier. Tapi gaji suami tak mampu menghidupi keluarga bila saya tak bekerja. Bila saja saya punya modal, saya rela memilih buka toko kecil di depan rumah asal bisa selalu dekat dengan anak saya.”

Penulis yang waktu itu belum menikah, hanya bisa memegang tangannya untuk memberi kekuatan. Sungguh, saya berusaha memahami posisinya.

Ada banyak ibu-ibu muda di luar sana yang mengalami hal serupa dengan teman saya di atas. Pengalaman itu menjadi salah satu bekal saya untuk menata langkah. Bukan hanya saya tapi juga perempuan lain yang mau berbagi langkah dan bermuhasabah.

Citra perempuan bekerja terutama di luar rumah dengan pakaian blazer, rambut terurai, rok mini atau celana panjang, lengkap dengan sepatu berhak tinggi, demikian indah ditanamkan pada masyakarat kita. Paham feminisme yang semakin gencar disuarakan semakin menambah kesan bahwa menjadi perempuan karier adalah suatu yang wah dan mempunyai prestis tersendiri. Perempuan menjadi bangga karena kedudukan mereka saat ini menjadi sejajar dengan laki-laki terutama dalam hal mencari materi.

Tapi, pernahkah terpikir di benak mereka akan kualitas generasi? Ketika ibu bekerja di luar rumah, siapakah yang mengasuh mereka terutama di usia batita (bawah tiga tahun) dan balita (bawah lima tahun)? Nenek, bibi pembantu ataukah minta tolong tetangga? Siapa pun dia adanya, tak ada yang bisa menggantikan kasih sayang dan perhatian seorang ibu. Kecuali bila memang kasih sayang dan perhatian seorang nenek, bibi pembantu, dan tetangga jauh lebih berkualitas daripada sang ibu sendiri. Bila memang begini kondisinya, sungguh mengenaskan.

Ada seorang teman yang meninggalkan batita-nya di rumah dengan pembantu sepanjang hari. Bahkan tak jarang berhari-hari bila ada urusan pekerjaan keluar kota. Sekali dua saya mengingatkan dengan bercanda bahwa hati-hati saja apabila kualitas anaknya bakal tak jauh dari kualitas pembantu. Dia pun mengelak dengan gugup bahwa pembantunya itu baik dan cukup berkualitas. Anaknya sekarang sudah pandai membaca huruf hijaiyah dan hafal doa-doa harian. Itu semua berkat pembantu tersebut. Hmm…jangan-jangan kualitas si pembantu lebih oke daripada ibu sendiri dalam hal mendidik anak?

Para ibu, jangan pernah rela kedudukan kalian tergeser oleh siapapun juga. Tidak nenek, bibi pembantu atau tetangga. Menjadi ibu adalah amanah mulia bagi seorang perempuan. Ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Karena perannya inilah, surga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Tapi bila pendidikan dini dan pembelajaran pertama seorang anak didapat dari seorang pembantu rumah tangga, masihkah ada surga itu di bawah telapak kaki sang ibu? Mungkinkah surga itu bisa berpindah ke bawah telapak kaki sang pembantu yang telah mendidiknya selama ini?

Begitu sebaliknya, bila ada hal-hal buruk dipelajari oleh si buah hati dari orang yang mengasuhnya, masih berhakkah seorang ibu marah padanya? Sedangkan dia sendiri entah berada di mana ketika si batita dan balita butuh dekapannya, dongeng pengantar tidurnya, atau sekadar mendengar celoteh pertamanya.
Duhai para ibu, bekerja adalah mubah bagi perempuan. Janganlah sampai yang mubah mengalahkan yang sunnah apalagi yang wajib. Mendidik generasi adalah investasi bukan hanya berdimensi dunia saja tapi ke akhirat juga. Doa anak-anak yang salih yang selalu mendoakan kedua orang tuanya adalah penerang kubur kita kelak. Lebih jauh lagi, anak-anak salih itu bukan hanya untuk kepentingan orang tuanya semata, tapi umat dan zaman membutuhkannya.

Umat dan zaman membutuhkan generasi penerus yang shalih dan cerdas. Generasi ini hanya bisa terlahir dari sosok ibu yang juga salihah dan cerdas pula. Dan sosok berkualitas ini tak akan mungkin terjadi begitu saja. Butuh sebuah proses penempaan diri yang terus menerus dan kontinyu. Proses menjadikan diri ibu dan calon ibu agar berkualitas dimensi dunia akhiratnya. Hanya dari perempuan seperti inilah zaman bisa berharap. Selanjutnya, tak akan pernah ada kegamangan untuk menjawab dan menentukan skala prioritas ketika satu saat anak bertanya, “Mengapa ibu berangkat kerja?” Wallahu ‘alam [voa-islam.com]

31/03/10

Mengenang Jasa Ibu


Wahai Ibunda, entah kenapa tiba-tiba memoriku kembali ke masa silam. Aku teringat tatkala dulu engkau berbagi cerita bersama kami, ketika engkau menyemangati kami, ketika seringkali airmata mengalir dari pipimu yang halus, ketika shubuh engkau membangunkan kami untuk sembahyang memuja sang Al-Khalik.

Ketika di sore hari engkau senantiasa mengingatkan kami untuk pergi mengaji, ketika engkau menguraikan harapan-harapanmu pada kami anak-anakmu yang sedang engkau didik dan engkau besarkan dalam naungan cintaNya, ketika engkau mengharapakan agar dirumah kita yang hampir roboh itu bisa kita dirikan shalat berjama’ah dengan kami anakmu sebagai imamnya, ketika dengan penuh harap engkau bercita-cita agar suatu saat kita mampu membeli sepetak tanah masa depan yang akan kita tempati bersama karena tidak mungkin kita akan terus menempati pojok tanah pinjaman orang lain. Ibunda, aku juga teringat ketika engkau tersenyum bahagia menyaksikan kami anak-anakmu menjadi juara kelas di sekolah dan TPA.

Mak, loen rindu keu droeneh!”, begitulah jeritan hatiku tatkala suatu ketika di keheningan malam yang syahdu mataku tak mampu terpejam karena hadirnya rasa kerinduan yang amat sangat kepada seorang wanita yang telah melahirkanku, kepada seorang yang telah membesarkanku dengan perjuangannya yang amat berat. Saat itu, ku ambil sebuah pena dan secarik kertas kucoba menulis secuil isi hatiku dalam sepucuk surat mengenang jasa-jasanya yang tiada tara banyaknya.

Aku masih ingat pesan dan harapanmu dulu, biarpun kondisi keluarga kita hancur-hancuran tapi engkau tetap menginginkan kami menjadi anak-anak yang alim/shalih, berpendidikan tinggi dan berhasil dunia akhirat, meski saat itu Ayah jarang pulang karena mencari rizki di belantara hutan Ilahi, meski saat itu kita jarang makan, atau kadangkala kita harus menghidupkan ’suwa’ untuk menerangi rumah kita yang tanpa listrik itu. Meski kondisi kita melarat sebagaimana kebanyakan masyarakat Aceh pedalaman lainnya.

Tapi, aku tak menyangka engkau begitu bersemangat menyekolahkan kami, meski kadang kami menangis karena dengan terpaksa harus memakai baju sekolah yang sudah lusuh atau pemberian orang, tapi engkau tak pernah putus asa dalam menyemai benih cinta dan harapan dijiwa kami.

Ibunda, masih kuingat tatkala dipagi hari selepas shubuh engkau sudah bersiap-siap untuk berbelanja keperluan jualan pecal dan kue, pekerjaan yang telah engkau geluti bertahun-tahun sampai kami menginjak remaja, aku terpana seolah engkau tidak pernah kelelahan dalam membesarkan dan mendidik kami, kadangkala engkau ajak aku untuk ikut ke pasar, disana kulihat engkau berbelanja sambil bercengkerama dengan Nyak-nyak meukat gule di pasar Panton Labu hingga pasar Matangkuli tempat engkau berbelanja saat ini setelah kita pulang dari perantauan.

Ohya ibunda, dulu ananda pernah bercerita kan tentang cita-cita yang ingin ananda raih?, disamping ingin membahagiakan dan mewujudkan harapanmu ananda juga ingin sekali menjadi penulis, karena ananda yakin banyak perubahan berawal dari sebuah karya tulis. Ananda teringat Novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang sanggup membius ribuan orang dengan pesan-pesan Islam, ananda juga mengagumi para penulis artikel di media cetak dengan ide-idenya yang sangat brilian dan cemerlang, sekaliber Ampuh Devayan, Muhibuddin Hanafiah, Jarjani Usman yang namanya telah ananda kenal semenjak di bangku SLTP dulu, begitu juga Rustam Effendi, Halim Mubary, Ahmad Humam Hamid, Sulaiman Tripa, Saifuddin Bantasyam, dan juga banyak yang lain yang terus memberikan sumbangsihnya untuk masyarakat kita. Ananda berhasrat kelak bisa bergabung dengan mereka untuk secara aktif memberikan ide-ide yang telah engkau semai dahulu.

Untuk itu wahai ibunda, ikhlaskan ananda pergi meninggalkanmu menuntu ilmu untuk sementara waktu, meski terus dihimpit kesulitan ekonomi tapi aku yakin dengan sabda Rasul kita Muhammad Saw yang sering engkau ingatkan dahulu, ’Barangsiapa siapa menempuh jalan untuk menuntu ilmu maka ia telah merintis salah satu jalan ke syurga’, aku juga ingat firman Allah seperti diajarkan Teungku di Dayah, ’Siapa saja yang bertakwa kepadaNya maka Dia akan memberikannya jalan keluar’.

Ibunda, saat ini ketika perjalanan hidup yang kujalani penuh dengan onak dan duri aku-pun mulai menyadari siapa dirimu sebenarnya, bagaimana besarnya jasa-jasamu. Bagiku engkau laksana wanita terbaik yang akan selalu ku kenang sepanjang masa dalam hidupku, aku tak akan pernah melupakanmu, aku akan selalu mendo’akanmu.

Insya Allah kelak aku akan mewujudkan semua harapanmu. Dan do’amu adalah senjata bagiku wahai Ibunda…..

Oleh : Teuku Zulkhairi

30/03/10

Berhala Modern itu Bernama Nasionalisme


Ada sebuah ayat di dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa suatu masyarakat sengaja menjadikan ”berhala”  tertentu sebagai perekat hubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Sedemikian rupa ”berhala” itu diagungkan sehingga para anggota masyarakat yang ”menyembahnya” merasakan tumbuhnya semacam ”kasih-sayang” di antara mereka satu sama lain.  Suatu bentuk kasih-sayang yang bersifat artifisial dan temporer. Ia bukan kasih-sayang yang sejati apalagi abadi. Gambaran mengenai berhala pencipta kasih-sayang palsu ini dijelaskan berkenaan dengan kisah Nabiyullah Ibrahim ’alaihis-salam.

وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ

فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ

بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Dan berkata Ibrahim ’alaihis-salam: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.” (QS Al-Ankabut ayat 25)

"Berhala-berhala" di zaman dahulu adalah berupa patung-patung yang disembah dan dijadikan sebab bersatunya mereka yang sama2 menyembah berhala patung itu padahal berhala itu merupakan produk bikinan manusia. Di zaman modern sekarang "berhala" bisa berupa aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/ way of life/ sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia. Manusia  di zaman skrg  juga "menyembah" berhala-berhala modern tersebut dan mereka menjadikannya sebagai "pemersatu" di antara aneka individu dan kelompok di dalam masyarakat. Berhala modern itu menciptakan semacam persatuan dan kasih-sayang yang berlaku sebatas  kehidupan mereka di dunia saja. Berhala modern itu bisa memiliki nama yang beraneka-ragam. Tapi apapun namanya, satu hal yang pasti bahwa ia semua merupakan produk fikiran terbatas manusia. Ia bisa bernama Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Liberalisme, Nasionalisme atau apapun selain itu.

Semenjak runtuhnya tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara ummat Islam 85 tahun yang lalu bangsa-bangsa Muslim di segenap penjuru dunia mulai menjalani kehidupan sosialberlandaskan sebuah faham yang sesungguhnya asing bagi mereka. Faham itu bernama Nasionalisme. Ketika Khilafah Islamiyyah masih tegak dan menaungi kehidupan sosial ummat, mereka menghayati bahwa hanya aqidah Islam Laa ilaha illa Allah sajalah yang mempersatukan mereka satu sama lain. Hanya aqidah inilah yang menyebabkan meleburnya sahabat Abu Bakar yang Arab dengan Salman yang berasal dari Persia dengan Bilal yang orang Ethiopia dengan Shuhaib yang berasal dari bangsa Romawi.  Mereka menjalin al-ukhuwwah wal mahabbahMengapa? Karena ikatan mereka berlandaskan perlombaan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Hidup lagi Maha Abadi. (persaudaraan dan kasih sayang) yang menembus batas-batas suku, bangsa, warna kulit, asal tanah-air dan bahasa. Dan yang lebih penting lagi bahwa ikatan persatuan dan kesatuan yang mereka jalin menembus batas dimensi waktu sehingga tidak hanya berlaku selagi mereka masih di dunia semata, melainkan jauh sampai kehidupan di akhirat kelak.

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf ayat 67)

Orang-orang beriman tidak ingin menjalin pertemanan yang sebatas akrab di dunia namun di akhirat kemudian menjadi musuh satu sama lain. Oleh karenanya, mereka tidak akan pernah mau mengorbankan aqidahnya yang mereka yakini akan menimbulkan kasih-sayang hakiki dan abadi. Sesaatpun mereka tidak akan mau menggadaikan aqidahnya dengan faham atau ideologi selainnya. Sebab aqidah Islam merupakan pemersatu yang datang dan dijamin oleh Penciptanya pasti akan mewujudkan kehidupan berjamaah sejati dan tidak bakal mengantarkan kepada perpecahan dan bercerai-berainya jamaah tersebut.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

”Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dalam jamaah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS Ali Imran ayat 103)

Sewaktu ummat Islam hidup di bawah naungan Syariat Allah dalam tatanan Khilafah Islamiyyah mereka tidak mengenal bentuk ikatan kehidupan sosial selain Al-Islam. Mereka tidak pernah membangga-banggakan perbedaan suku dan bangsa satu sama lain. Betapapun realitas suku dan bangsa memang tetap wujud, tetapi ia tidak pernah mengalahkan kuatnya ikatan aqidah di dalam masyarakat. Sedangkan setelah masing-masing negeri kaum muslimin mengikuti jejak langkah Republik Turki Modern Sekuler, maka mulailah mereka mengekor kepada dunia barat yang hidup dengan membanggakan Nasionalisme masing-masing bangsa. Padahal bangsa-bangsa Barat tidak pernah benar-benar berhasil membangun soliditas sosial melalui man-made ideology tersebut. Akhirnya bangsa-bangsa Muslim mulai sibuk mencari-cari identitas Nasionalisme-nya masing-masing. Mulailah orang Indonesia lebih bangga dengan ke-Indonesiaannya daripada ke-Islamannya. Bangsa Mesir bangga dengan ke-Mesirannya. Bangsa Saudi bangga dengan ke-Saudiannya. Bangsa Turki bangga dengan ke-Turkiannya. Lalu perlahan tapi pasti kebanggaan akan Islam sebagai perekat hakiki dan abadi kian tahun kian meluntur.

Sehingga di dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an Asy-Syahid Sayyid Qutb rahimahullah menulis komentar mengenai surah Al-Ankabut ayat 25 di atas sebagai berikut:

Ia (Ibrahim) ’alaihis-salam berkata kepada mereka (kaumnya), “Kalian menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah, yang kalian lakukan bukan karena kalian mempercayai dan meyakini berhaknya berhala-berhala itu untuk disembah. Namun, itu kalian lakukan karena basa-basi kalian satu sama lain, dan karena keinginan untuk menjaga hubungan baik kalian satu sama lain, untuk menyembah berhala ini. Sehingga, seorang teman tak ingin meninggalkan sesembahan temannya (ketika kebenaran tampak baginya) semata karena untuk menjaga hubungan baik di antara mereka, dengan mengorbankan kebenaran dan akidah!”

Hal ini terjadi di tengah masyarakat yang tak menjadikan akidah dengan serius. Sehingga, mereka saling berusaha menyenangkan temannya dengan mengorbankan akidahnya, dan melihat masalah akidah itu sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan jika ia harus kehilangan teman! Ini adalah keseriusan yang benar-benar serius. Keseriusan yang tak menerima peremehan, santai, atau basa-basi.

Kemudian Ibrahim’alaihis-salam menyingkapkan kepada mereka lembaran mereka di akhirat. Hubungan sesama teman yang mereka amat takut jika terganggu karena akidah, dan yang membuat mereka terpaksa menyembah berhala karena untuk menjaga hubungan itu, ternyata di akhirat menjadi permusuhan, saling kecam, dan perpecahan.

”...Kemudian di hari Kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain)....”

Hari ketika para pengikut mengingkari orang-orang yang diikutinya, orang-orang yang dibeking mengkafirkan orang-orang yang membekingnya, setiap kelompok menuduh temannya sebagai pihak yang menyesatkannya, dan setiap orang yang sesat melaknat teman yang menyesatkannya!

Kemudian kekafiran dan saling melaknat itu tak bermanfaat sama sekali, serta tak dapat menghalangi azab bagi siapapun.

”...Dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun.”
Mereka (kaumnya Nabi Ibrahim ’alaihis-salam) pernah menggunakan api untuk membakar Ibrahim ’alaihis-salam, tapi Allah kemudian membela dan menyelamatkan Ibrahim ’alaihis-salam dari api itu. Sementara mereka tak ada yang dapat menolong mereka dan tak ada keselamatan bagi mereka!

Saudaraku, marilah kita tinggalkan segala bentuk “berhala modern” yang sadar ataupun tidak selama ini kita “sembah”. Kita jadikan faham selain Islam sebagai sebuah perekat antara satu sama lain, padahal persatuan dan kasih-sayang yang dihasilkannya hanya bersifat fatamorgana.  Marilah hanya AL-ISLAM  yang kita jadikan "faktor pemersatu" yang pasti terjamin akan mempersatukan kita di dunia dan di akhirat.  Al-Islam bukan produk manusia melainkan produk Allah Yg Maha Tahu dan Maha Sempurna pengetahuannya.

Sedemikian hebatnya pengaruh Nasionalisme sehingga sebagian orang yang mengaku berjuang untuk kepentingan ummat-pun takluk di bawah ideologi buatan manusia yang satu ini. Betapa ironisnya perjuangan para politisi Islam tatkala mereka rela untuk menunjukkan inkonsistensi-nya di hadapan seluruh ummat demi meraih penerimaan dari fihak lain yang jelas-jelas mengusung Nasionalisme. Seolah kelompok yang mengusung ideologi Islam harus siap mengorbankan apapun demi mendapatkan keridhaan kelompok yang mengusung Nasionalisme. Seolah memelihara persatuan dan soliditas berlandaskan Nasionalisme jauh lebih penting dan utama daripada mewujudkan al-ukhuwwah wal mahabbah

(persaudaraan dan kasih sayang) berlandaskan aqidah Islam.
Sedemikian dalamnya faham Nasionalisme telah merasuk ke dalam hati sebagian orang yang mengaku memperjuangkan aspirasi politik Islam sehingga rela mengatakan bahwa ”Isyu penegakkan Syariat Islam merupakan isyu yang sudah usang dan tidak relevan.” Tidakkah para politisi ini menyadari bahwa ucapan mereka seperti ini bisa menyebabkan rontoknya eksistensi Syahadatain di dalam dirinya? Dengan kata lain ucapannya telah mengundang virus ke-murtad-an kepada si pengucapnya. Wa na’udzubillahi min dzaalika.

Sebagian orang berdalih bahwa jika kita mengusung syiar ”Penegakkan Syariat Islam”  lalu  bagaimana dengan nasib orang-orang di luar Islam? Saudaraku, disinilah tugas kita orang-orang beriman untuk mempromosikan Islam sebagai "faktor pemersatu" yg bersifat Rahmatan lil 'aalamiin. Tidakkah terasa aneh bila "mereka" bisa dan boleh dibiarkan mendikte aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/ way of life/ sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia kepada kita umat Islam, sedangkan kita umat Islam tidak mampu –bahkan kadang tidak mau- mempromosikan (baca: berda'wah) menyebarluaskan ajaran Allah kepada "mereka"? Wallahua'lam.-

وَلَا تُؤْمِنُوا إِلَّا لِمَنْ تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ

أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ

”Dan Janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu". (QS Ali Imran ayat 73)